Postingan sebelumnya bag. 1
Tak banyak kawasan cagar biosfer di dunia, dan dari yang sedikit itu beberapa terdapat di Indonesia. Salah satunya adalah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau. Cagar biosfer ini memiliki fungsi yang sangat besar bagi keterlangsungan ekologi. Jika mampu diselamatkan, dampaknya akan dinikmati bersama.
MENTARI baru muncul sepenggalah, rona merahnya menyinari bumi. Detak kehidupan pun dimulai dengan segala aktivitasnya. Pagi itu,rombongan bergerak menuju ke Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Selanjutnya dari daerah itu, rombongan akan menjelajahi kawasan hutan perawan, kawasan hutan ini telah ditetapkan UNESCO sebagai kawasan cagar biosfer atau lebih lengkapnya Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB).
Ekpedisi ini diselenggarakan oleh Sinar Mas Forestry bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau. Perjalanan ke kawasan itu memerlukan waktu tiga sampai empat jam. Dari Pekanbaru kami langsung menuju ke base camp PT Arara Abadi (Sinar Mas Grup). Cagar Biosfer GSK-BB merupakan gabungan dua Suaka Margasatwa (SM), masing-masing SM Giam Siak Kecil seluas 84.000 dan SM Bukit Batu dengan luas 21.500, ditambah kawasan hutan produksi milik Sinar Mas Forestry dan mitranya seluas 72.255 hektare.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengidentifikasi kedua suaka tersebut menjadi rumah bagi 159 jenis burung, 10 jenis mamalia, 13 jenis ikan, delapan jenis reptile, 52 jenis tumbuhan langka yang dilindungi. Penetapan GSK-BB sebagai kawasan cagar biosfer dilakukan di Jeju, Korea Selatan (Korsel) pada 26 Mei 2009 lalu.
Untuk sampai ke kawasan hutan itu, kita harus menggunakan transportasi air (speed boat) berukuran sedang. Dalam satu speed boat hanya diisi lima sampai enam orang peserta. Tak lupa, masing-masing kita mengenakan baju pelampung yang telah disiapkan. Memakai baju pelampung ini wajib hukumnya, jangan mau mengambil sekecil apapun risiko. Hal ini bisa dimaklumi, karena kawasan yang akan dijelajahi dan alur kanal sungai yang dibuat masih banyak terdapat buaya muara. Terlebih, kondisi speed boat yang dirasakan sangat kecil.
Perjalanan hari itu dibagi dalam dua kelompok, jumlah masing-masing kelompok terdiri 13 peserta ditambah pemandu dari Sinar Mas Forestry dan sejumlah panitia pelaksana Kawasan hutan yang kami masuki adalah kawasan hutan konservasi milik PT Sakato Pratama (mitra Sinar Mas Forestry), seluas 1.762 hektare. Kawasan hutan ini sendiri lebih dikenal dengan kawasan humus. Kawasan hutan ini telah diserahkan perusahaan kepada negara dan dimasukkan ke dalam kawasan cagar biosfer. Sinar Mas dan mitranya telah mencadangkan kawasan hutan produksinya seluas 72.255 hektare. Jika kayu-kayu yang terdapat dalam kawasan hutan yang diserahkan Sinar Mas dan mitra kerjanya dieksploitasi maka akan bisa mencukupi kebutuhan produksi perusahaan selama dua tahun.
‘’Total luas kawasan hutan yang kami serahkan mencapai 72.255 hektare. Kalau kawasan itu dimanfaatkan akan bisa menjalankan operasional perusahaan selama dua tahun. Namun, kita memandang upaya penyelamatan lingkungan dan alam menjadi hal yang paling diutamakan, karenanya Sinar Mas terus berupaya menjaga kawasan hutan cagar biosfer ini dan mencadangkannya serta dimasukkan ke dalam areal cagar biosfer,’’ tutur Yuyu Arlan dari Sinar Mas Forestry saat perjalanan menuju ke kawasan hutan.
Kawasan hutan yang dimasuki di hari pertama adalah kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik perusahaan AA. Kawasan HTI inilah yang membentengi hutan alam yang masih perawan tersebut. Dengan adanya kawasan hutan HTI ini, maka upaya penyelamatan kawasan hutan itu bisa dilakukan secara berkesinambungan. Dan ini memang terbukti, sebab tidak ada celah sama sekali bagi para pelaku pembalak liar (illegal logging) untuk masuk ke kawasan tersebut. Semua pintu masuk menuju kawasan dijaga oleh petugas keamanan perusahaan.
Menurut Hendra, salah seorang pemandu dan tim survei, di kawasan hutan ini masih terdapat sejumlah hewan buas, karenanya kewaspadaan harus senantiasa ditingkatkan dan para peserta diingatkan untuk terlalu jauh berpencar. Hewan buas yang dimaksudkan Hendra adalah Tuk Belang alias harimau. ‘’Di kawasan hutan, kita tidak boleh menyebut nama harimau, kita harus menyebutnya dengan Tuk Belang dan sebagainya, saya tidak tahu mengapa itu dilakukan, akan tetapi ini sudah turun-temurun dari dulu. Menyebut harimau sudah menjadi pantang larang dan tabu setiap akan memasuki kawasan hutan,’’ ujarnya.
Kawasan hutan yang dimasuki masih cukup lebat, beberapa pohon kayu yang berdiameter kecil tampak diberi tanda pita berwarna merah dan kuning. Menurut Hendra, pita yang dipasang pada batang kayu tersebut selain sebagai tanda bagi peserta, juga sebagai tanda bahwa batang kayu itu sedang diukur tingkat pertumbuhannya oleh tim survei. Pertumbuhan kayu alam dalam setiap tahunnya sangat sedikit. Karenanya, setiap batang kayu yang dirusak atau ditebang, manusia harus menunggu waktu cukup lama untuk melihat kayu itu tumbuh besar.
Di kawasan hutan itu ditemukan kayu-kayu dengan diameter yang cukup besar. Pohon-pohon yang bisa ditemukan di kawasan itu di antaranya meranti, kempas, ramin dan sebagainya. Namun dari sekian banyak jenis pohon yang terdapat di kawasan hutan itu, yang paling banyak ditemukan adalah kayu dengan jenis kelat. ‘’Yang paling banyak dari survei yang kami lakukan adalah kayu kelat, sementara kayu jenis lainnya ada, namun tidak sebanyak kayu kelat ini,’’ tutur Hendra lagi.
Setapak demi setapak kami melangkah terus mengikuti jejak langkah Hendra. Peringatan bagi yang merokok, mohon tidak membuang puntung rokoknya secara sembarangan. Karena risikonya teramat besar, bisa menimbulkan kebakaran. ‘’Merokok tidak dilarang, tapi puntung rokoknya tolong dipadamkan, kita jangan mengambil resiko sekecil apapun, jika kawasan hutan ini terbakar bukan hanya Riau dan Indonesia yang rugi, akan tetapi seluruh dunia,’’ ujar Hendra lagi.
Selain jenis kayu dan pepohonan, di kawasan hutan itu juga ditemukan jenis tanaman lainnya. Salah satunya adalah kantong semar. Tanaman ini memang sudah sangat langka sekali. Kantong semar hidup berkoloni dengan sesama jenisnya, dia bisa hidup di atas batang atau akar-akar kayu. Rombongan ekspedisi mendapat anugerah pada hari itu, kami melihat sekelompok kantong semar yang tumbuh subur di atas sebatang akar kayu.
Satu hal lagi dari petualangan ini, rombongan bisa merasakan minum air akar kayu. Jenis akar kayu yang bisa diminum hanyalah jenis tertentu. Saat dalam perjalanan Hendra menemukan jenis akar kayu tersebut, dia langsung mengambil dan memotongnya dan memberikan kepada masing-masing peserta. Rasa airnya sedikit tawar, jika hendak meminumnya angkatlah akar kayu itu dan arahkan ke mulut, dengan sendirinya air yang terdapat di dalam akar kayu itu akan mengucur dengan deras dan mengeringkan dahaga yang dirasakan.
Menara Air nan Eksotik
Kawasan cagar biosfer GSK-BB meliputi ekosistem hutan rawa gambut serta ekosistem perairan dan tasik (danau). Keberadaan tasik-tasik yang berada di sepanjang sungai Siak Kecil maupun Sungai Bukit Batu sangat unik, dan merupakan contoh evolusi dari danau/genangan dystrophic.*
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengidentifikasi kedua suaka tersebut menjadi rumah bagi 159 jenis burung, 10 jenis mamalia, 13 jenis ikan, delapan jenis reptile, 52 jenis tumbuhan langka yang dilindungi. Penetapan GSK-BB sebagai kawasan cagar biosfer dilakukan di Jeju, Korea Selatan (Korsel) pada 26 Mei 2009 lalu.
Untuk sampai ke kawasan hutan itu, kita harus menggunakan transportasi air (speed boat) berukuran sedang. Dalam satu speed boat hanya diisi lima sampai enam orang peserta. Tak lupa, masing-masing kita mengenakan baju pelampung yang telah disiapkan. Memakai baju pelampung ini wajib hukumnya, jangan mau mengambil sekecil apapun risiko. Hal ini bisa dimaklumi, karena kawasan yang akan dijelajahi dan alur kanal sungai yang dibuat masih banyak terdapat buaya muara. Terlebih, kondisi speed boat yang dirasakan sangat kecil.
Perjalanan hari itu dibagi dalam dua kelompok, jumlah masing-masing kelompok terdiri 13 peserta ditambah pemandu dari Sinar Mas Forestry dan sejumlah panitia pelaksana Kawasan hutan yang kami masuki adalah kawasan hutan konservasi milik PT Sakato Pratama (mitra Sinar Mas Forestry), seluas 1.762 hektare. Kawasan hutan ini sendiri lebih dikenal dengan kawasan humus. Kawasan hutan ini telah diserahkan perusahaan kepada negara dan dimasukkan ke dalam kawasan cagar biosfer. Sinar Mas dan mitranya telah mencadangkan kawasan hutan produksinya seluas 72.255 hektare. Jika kayu-kayu yang terdapat dalam kawasan hutan yang diserahkan Sinar Mas dan mitra kerjanya dieksploitasi maka akan bisa mencukupi kebutuhan produksi perusahaan selama dua tahun.
‘’Total luas kawasan hutan yang kami serahkan mencapai 72.255 hektare. Kalau kawasan itu dimanfaatkan akan bisa menjalankan operasional perusahaan selama dua tahun. Namun, kita memandang upaya penyelamatan lingkungan dan alam menjadi hal yang paling diutamakan, karenanya Sinar Mas terus berupaya menjaga kawasan hutan cagar biosfer ini dan mencadangkannya serta dimasukkan ke dalam areal cagar biosfer,’’ tutur Yuyu Arlan dari Sinar Mas Forestry saat perjalanan menuju ke kawasan hutan.
Kawasan hutan yang dimasuki di hari pertama adalah kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik perusahaan AA. Kawasan HTI inilah yang membentengi hutan alam yang masih perawan tersebut. Dengan adanya kawasan hutan HTI ini, maka upaya penyelamatan kawasan hutan itu bisa dilakukan secara berkesinambungan. Dan ini memang terbukti, sebab tidak ada celah sama sekali bagi para pelaku pembalak liar (illegal logging) untuk masuk ke kawasan tersebut. Semua pintu masuk menuju kawasan dijaga oleh petugas keamanan perusahaan.
Menurut Hendra, salah seorang pemandu dan tim survei, di kawasan hutan ini masih terdapat sejumlah hewan buas, karenanya kewaspadaan harus senantiasa ditingkatkan dan para peserta diingatkan untuk terlalu jauh berpencar. Hewan buas yang dimaksudkan Hendra adalah Tuk Belang alias harimau. ‘’Di kawasan hutan, kita tidak boleh menyebut nama harimau, kita harus menyebutnya dengan Tuk Belang dan sebagainya, saya tidak tahu mengapa itu dilakukan, akan tetapi ini sudah turun-temurun dari dulu. Menyebut harimau sudah menjadi pantang larang dan tabu setiap akan memasuki kawasan hutan,’’ ujarnya.
Kawasan hutan yang dimasuki masih cukup lebat, beberapa pohon kayu yang berdiameter kecil tampak diberi tanda pita berwarna merah dan kuning. Menurut Hendra, pita yang dipasang pada batang kayu tersebut selain sebagai tanda bagi peserta, juga sebagai tanda bahwa batang kayu itu sedang diukur tingkat pertumbuhannya oleh tim survei. Pertumbuhan kayu alam dalam setiap tahunnya sangat sedikit. Karenanya, setiap batang kayu yang dirusak atau ditebang, manusia harus menunggu waktu cukup lama untuk melihat kayu itu tumbuh besar.
Di kawasan hutan itu ditemukan kayu-kayu dengan diameter yang cukup besar. Pohon-pohon yang bisa ditemukan di kawasan itu di antaranya meranti, kempas, ramin dan sebagainya. Namun dari sekian banyak jenis pohon yang terdapat di kawasan hutan itu, yang paling banyak ditemukan adalah kayu dengan jenis kelat. ‘’Yang paling banyak dari survei yang kami lakukan adalah kayu kelat, sementara kayu jenis lainnya ada, namun tidak sebanyak kayu kelat ini,’’ tutur Hendra lagi.
Setapak demi setapak kami melangkah terus mengikuti jejak langkah Hendra. Peringatan bagi yang merokok, mohon tidak membuang puntung rokoknya secara sembarangan. Karena risikonya teramat besar, bisa menimbulkan kebakaran. ‘’Merokok tidak dilarang, tapi puntung rokoknya tolong dipadamkan, kita jangan mengambil resiko sekecil apapun, jika kawasan hutan ini terbakar bukan hanya Riau dan Indonesia yang rugi, akan tetapi seluruh dunia,’’ ujar Hendra lagi.
Selain jenis kayu dan pepohonan, di kawasan hutan itu juga ditemukan jenis tanaman lainnya. Salah satunya adalah kantong semar. Tanaman ini memang sudah sangat langka sekali. Kantong semar hidup berkoloni dengan sesama jenisnya, dia bisa hidup di atas batang atau akar-akar kayu. Rombongan ekspedisi mendapat anugerah pada hari itu, kami melihat sekelompok kantong semar yang tumbuh subur di atas sebatang akar kayu.
Satu hal lagi dari petualangan ini, rombongan bisa merasakan minum air akar kayu. Jenis akar kayu yang bisa diminum hanyalah jenis tertentu. Saat dalam perjalanan Hendra menemukan jenis akar kayu tersebut, dia langsung mengambil dan memotongnya dan memberikan kepada masing-masing peserta. Rasa airnya sedikit tawar, jika hendak meminumnya angkatlah akar kayu itu dan arahkan ke mulut, dengan sendirinya air yang terdapat di dalam akar kayu itu akan mengucur dengan deras dan mengeringkan dahaga yang dirasakan.
Menara Air nan Eksotik
Bagi Direktur Program Man and the Biosphere (MAB) Dr Y Purwanto yang menyertai perjalanan, keberadaan kawasan ini menjadi penting, tidak bagi Riau dan Indonesia saja, akan tetapi seluruh dunia. Kawasan ini akan menjadi menara air yang akan sangat berguna bagi kehidupan umat manusia, terlebih lagi bagi masyarakat tempatan. Karenanya semua pihak harus turut serta menjaga kawasan hutan ini.
‘’Kawasan ini sungguh eksotik, di dalam kawasan cagar biosfer ini terdapat tasik-tasik yang bisa menjadi menara air. Keberadaan tasik-tasik itu sungguh sangat eksotik, tidak ada di cagar biosfer lainnya di Indonesia. Di tasik-tasik itu sendiri memberikan kehidupan bagi masyarakat, karena menyimpan potensi perikanan, karenanya pemberdayaan masyarakat harus dilakukan, agar mereka tidak melakukan pengrusakan terhadap kawasan hutan,’’ ujarnya.
Pemberdayaan yang dilakukan harus melibatkan seluruh unsur. Apa bentuk pemberdayaan yang dilakukan hendaknya diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah atau lembaga lainnya tidak harus memaksakan diri, program pemberdayaan ini atau itu yang harus dilakukan. Jika ini hal semacam ini dilakukan, program itu tidak akan berhasil. ‘’Karenanya, sampai saat ini kami belum bisa menyebutkan program seperti apa yang harus dibuat untuk masyarakat tempatan,’’ ujarnya.
Di Indonesia, baru tujuh kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan cagar biosfer, yakni Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, Lore Lindu dan terakhir GSK-BB. ‘’Setelah penetapan cagar biosfer Lore Lindu, kita (Indonesia, red) harus menunggu selama 28 tahun untuk mendapatkan kawasan cagar biosfer baru yakni GSK-BB ini, karenanya semua pihak harus turut serta menjaganya,’’ ujarnya.
Namun cagar biosfer GSK-BB memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan enam kawasan lainnya. Betapa tidak, enam kawasan cagar biosfer diajukan oleh pemerintah, sementara kawasan cagar biosfer GSK-BB diajukan oleh pihak swasta. Keunikan lainnya, kawasan ini merupakan ekosistem hutan rawa gambut dan satu-satunya di Indonesia.
Cagar Biosfer GSK-BB terletak di Kabupaten Siak, Bengkalis dan sedikit wilayah Kota Dumai. Total area cagar biosfer GSK-BB sekitar 701.984 hektare yang terbagi atas 29 persen di Kabupaten Siak, 67 persen di Kabupaten Bengkalis dan sekitar 4 persen di Kota Dumai. Berdasarkan zonasinya area inti mencakup kawasan seluas 178.722 hektare, zona penyangga 222.425 haktare dan area transisi seluas 304.123 hektare.
Kekayaan jenis flora di cagar ini sangat tinggi di Sumatera. LIPI melaporkan sedikitnya terdapat 189 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 113 marga dan 59 suku. Beberapa di antaranya merupakan catatan baru bagi komunitas vegetasi hutan rawa gambut. Jenis tumbuhan penting yang dilindungi oleh undang-undang dan peraturan juga ditemukan di area inti. Bahkan jenis Acryopsis javanic, Cymbidium sp, Gramatopyhyllum speciosum (anggrek tebu) yang termasuk ke dalam Appendix 1 CITES.
Cagar biosfer ini juga menyimpan banyak tumbuhan/pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dari suku Dipterocarpaceae, Clusiaceae, Ebenaceae, Myrtaceae dan Thymelaceae. Dari keseluruhan jenis tersebut, kayu ramin (Gonystylus bancanus) yang masuk ke dalam Appendix 2 CITES masih banyak tersebar di lokasi inti cagar ini. Kualitas kayu ramin ini memiliki kekuatan II dan keawetan 1.
Kawasan cagar biosfer GSK-BB meliputi ekosistem hutan rawa gambut serta ekosistem perairan dan tasik (danau). Keberadaan tasik-tasik yang berada di sepanjang sungai Siak Kecil maupun Sungai Bukit Batu sangat unik, dan merupakan contoh evolusi dari danau/genangan dystrophic.*
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.