Bakti Puan Untuk Negeri Menuju Kesetaraan
DALAM sejarah kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, terukir jejak-jejak kaum perempuan yang memiliki andil besar, di antaranya Cut Nyak Dien, Srikandi maupun RA Kartini. Mereka memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam memajukan bangsanya. Perempuan-perempuan seperti itulah yang patut kita contoh dan teladani. Srikandi, misalnya, terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Karena itu, namanya menjadi simbol perempuan pejuang dan pemberani.
Di Bumi Lancang Kuning, tidak sedikit srikandi yang berjasa dalam memajukan bangsa mereka. Jasa dan pengorbanan mereka layak mendapatkan apresiasi yang tinggi karena telah mengantarkan masyarakat Melayu kepada kemajuan dan peradaban modern serta berjasa dalam pengembangan budaya Melayu. Sebagian masyarakat Melayu tentu akrab dengan nama Tengku Agong Syarifah Latifah, perempuan yang berjasa dalam memajukan pendidikan kaum perempuan Melayu, karena namanya telah diabadikan sebagai nama jembatan di Siak, Riau. Namun, bisa jadi masyarakat Melayu tidak mengenal Fatimah Rukun, Masajo, Tengku Badiah, ataupun Wak Setah. Padahal, para srikandi tersebut telah membuka pintu peradaban dan memahat ukiran sejarah kemajuan bagi Riau.
Sebab itu, agar perjuangan mereka tidak memudar sia-sia, muncullah inisiatif pemerintah daerah untuk mendokumentasikan biografi mereka. Diharapkan, kumpulan biografi ini dapat menjadi cermin bagi perempuan-perempuan Riau selanjutnya agar dapat memetik teladan dan meneruskan perjuangan mereka dalam membangun bangsa.
Prakarsa Pusdatin Puanri
Wadah pemerintah daerah yang peduli dengan pelestarian budaya tersebut ialah Tim Pusat Data dan Informasi Perempuan Riau (Pusdatin Puanri). Bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat (BPPM) Provinsi Riau, mereka menyeleksi 18 dari ‘mutiara yang berserak’ dan mendokumentasikan mereka pada sebuah buku kumpulan biografi yang diberi judul: Mutiara yang Terjaring (2007), yang diluncurkan di Pekanbaru pada akhir bulan Agustus 2007.
Septina Primawati Rusli selaku ketua Pusdatin Puanri dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) provinsi Riau mengatakan, bahwa buku ini ditulis sebagai penghargaan dan penghormatan kepada para tokoh perempuan Riau yang terus berkarya meskipun sudah sepuh. Dijelaskannya, selama tiga tahun Pusdatin Riau mengumpulkan data perempuan dari berbagai bidang, seperti politik, kesehatan, ekonomi dan lainnya. Para tokoh yang dihimpun terserak hampir ke seluruh daerah Riau. Proses penjaringannya dilakukan pada beberapa tahap. Mulai dengan pengumuman untuk memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengusulkan toko-tokoh perempuan yang mereka kenal. Setelah itu dilakukan seleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Dari situlah kemudian terjaring 18 orang perempuan yang dinyatakan layak dinobatkan sebagai suri tauladan bagi kaum perempuan umumnya dan generasi muda Riau.
Salah satu dari 18 tokoh Riau itu adalah Tengku Agong Sulthanah Latifah, permaisuri Gahara Tengku Agong di masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim II , Kesultanan Siak. Ia adalah sosok yang mengangkat martabat perempuan melalui pendidikan. Ia membangun lembaga pendidikan yang diberi nama Sultanah Latifah School pada 1926.
Pendidikannya memberi bekal khas bagi perempuan melalui kecerdasan dan keterampilan sebagai modal pengetahuan jika kelak berumahtangga. Pendidikan yang digagasnya berpijak pada keterbukaan dan pluralisme yang bertujuan agar perempuan Siak dan pantai timur Sumatra dapat berhubungan dan membuka diri dengan dunia luar serta bisa menerima ide-ide dari suku bangsa mana pun. Dari Sultanah Latifah School itulah, lahir srikandi-srikandi lainnya yang turut berjasa membangun Riau di kemudian hari.
Sosok perempuan lainnya ialah Masajo, srikandi Riau yang pernah mengenyam pendidikan di Sultanah Latifah School. Masajo berhasil mengenalkan tenun indahnya kepada dunia. Kisah hidupnya berawal ketika tentara Jepang yang kekurangan sandang dan pangan memerintah keluarga mereka untuk membuatkan kain dari 10 goni kapas yang mereka bawa. Merasa tidak memiliki secuil pengetahuan pun dalam membuat kain, Masajo berjuang mengubah kapas menjadi benang, dan dari benang menjadi kain. Dari kehidupan Masajo itulah terlahir bidal tua Melayu yang menjadi penuntun umum, yang berbunyi:
Dari kapas menjadi benang,
Pilin benang menjadi kain,
Orang lepas jangan dikenang,
Sudah menjadi si orang lain.
Masajo ialah sosok sederhana yang kreatif. Dengan pengetahuan yang sangat minim, ia mampu menghasilkan karya monumental yang tak pernah terlintas di benaknya. Kini, tenun Masajo telah menjadi haute coutoure (tradisi pakaian kelas tinggi), yang dipakai oleh dara, bujang, bahkan petinggi Siak dan Riau, dalam helat-helat majelis tinggi.
Lain lagi dengan Wak Setah seorang penutur cerita. Perempuan ini mahir dalam bakoba, suatu keahlian untuk mengisahkan secara lisan kisah-kisah masa lalu, seperti sejarah tentang Kerajaan Kunto Darussalam, Pagaruyung, cerita alam, lingkungan, serta aneka dongeng. Kisah-kisah lisan itu sarat dengan muatan moral, tamsil, kekuasaan, serta kearifan lokal. Dari Wak Setah-lah kelestarian budaya Melayu tetap terjaga. Darinya jualah generasi muda Melayu mengenal sejarah dan adat resam mereka.
Masih banyak sosok perempuan Riau yang lain. Masing-masing memiliki keunggulan dan karya yang patut dibanggakan. Dengan perjuangan dan kegigihan mereka, kini Bumi Lancang Kuning telah menjadi suatu daerah dengan peradaban modern. Sebagai upaya untuk menyelisik jejak-jejak budaya dan goresan peradaban yang pernah disentuh dan diciptakan para srikandi Riau, rekam jejak ini diharapkan dapat mengais dan mengangkat kembali nilai-nilai budaya yang telah mereka bangun dan kembangkan.
Peran Perempuan Melayu Riau Sebelum Tahun 1950
Kebudayaan Melayu Riau diwarnai oleh unsur-unsur Islam. Oleh karena itu tingkah-laku masyarakat Melayu selalu berpedoman pada norma-norma Islam, terutama kaum perempuannya. Dalam hadist disebutkan bahwa “Wanita adalah tiang agama. Apabila ia baik, maka negara akan baik. Dan apabila ia rusak, maka negara akan rusak”. Hadist tersebut hendaknya selalu dijadikan pedoman setiap insan agar setiap perempuan menjadi pedoman dalam segala tindak-tanduk untuk mencapai suatu negara yang baik.
Pada tahun 1950-an peran perempuan pada umumnya masih banyak berkisar dalam urusan keluarga atau rumah tangga, karena adat masih mengikat perempuan, sehingga dapat dikatakan perempuan Melayu Riau pada periode sebelum 1950 lebih berperan dalam keluarga. Namun perannya dalam masyarakat juga sudah ada, walaupun belum menonjol.
a. Peran Perempuan Melayu dalam Keluarga
Peran perempuan Melayu Riau dalam keluarga selanjutnya diuraikan sebagai berikut.
Sebagai Istri. Istri adalah pendamping suami yang sangat berperan dalam rumah tangga. Apabila si istri pandai mengatur rumah tangga, keharmonisan rumah tangga akan terwujud, sehingga rumah tangga akan berfungsi sebagai tempat yang paling nyaman bagi keluarganya. Pada umumnya, perempuan Melayu Riau masih dapat melaksanakan fungsinya sebagai seorang istri, seperti yang ditentukan oleh ajaran Islam, sehingga perempuan Melayu Riau jarang berbuat curang kepada suami. Hal itu membuat sebagian besar laki-laki Melayu Riau tidak beristri lebih dari satu. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan Melayu tidak ada yang dimadu. Bagaimanapun sebagian besar responden yang diwawancarai (60–70 orang) tetap beristri satu (monogami).
Sebagai Ibu.
Ibu adalah tumpuan dalam rumah tangga. Begitu besar dan pentingnya peran ibu. Nabi Muhammad saw. bersabda “Surga terletak di bawah telapak kaki ibu”. Hadis ini mengingatkan agar setiap orang menghormati kedua orang tuanya. Di samping itu, kaum laki-laki harus pandai menjaga “surga” tersebut. Apabila kaum laki-laki dan kaum perempuan sama-sama menjaganya, maka keselamatan hidup di dunia dan akhirat akan terjamin.
Selanjutnya timbul pertanyaan, “Siapakah yang diutamakan dalam berbakti terhadap kedua orang tua kita?” Rasulullah Muhammad saw. menjawab, “Ibumu, sesudah itu ayah” (Hamka, 1973: 41). Hadis itu menekankan besarnya peran perempuan sebagai seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan pembinaan dan kasih sayang. Suasana rumah tangga yang tenang dan bahagia merupakan modal yang baik dalam pembentukan pribadi anak. Hal yang dapat dilakukan perempuan dalam pembentukan pribadi anak antara lain pertama, dengan menyanyikan lagu untuk anak yang berumur 2 tahun, saat anak tersebut akan tidur. Nyanyian lagu yang dipilih adalah yang mengandung makna pendidikan, seperti lagu salawat Nabi dan mengagungkan nama Allah. Dengan begitu, perempuan telah mengajarkan agama, sehingga anak dapat mengenal kata-kata Laa ilaahaillallah, Muhammadurrasulullah, dan kata lain yang bernafaskan agama.
Kedua, dengan bercerita, ketika anak berumur 3–10 tahun. Dalam hal ini orang tua (nenek, makcik, dan sebagainya) harus sering bercerita saat anak atau cucunya hendak tidur. Cerita yang disajikan misalnya cerita Anak Durhaka, Si Miskin, Anak Yang Sombong, Kancil Yang Cerdik, Bato Belah Bato Bertangkup, dan sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan. Secara tidak langsung cerita ini dapat membentuk sikap dan watak anak, sehingga anak dapat membedakan hal baik dan buruk, hal yang berdosa dan hal yang berpahala. Diharapkan nilai-nilai positif yang terkandung dalam cerita itu akan menjadi pedoman bagi anak.
Ketiga, dengan membawa anak-anak salat berjamaah, setidak-tidaknya waktu maghrib, karena hal ini akan membiasakan anak melakukan ibadah. Keempat, menyekolahkan anak, minimal sekolah di daerahnya (sekolah agama dan sekolah umum), dan jika mampu disekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian ibu telah membentuk moral, sikap, dan memberi “ajar” untuk memelihara nilai-nilai sejak dini, serta telah mengawali proses sosialisasi dalam mengenal dan memelihara kebudayaan. Peran ibu dalam keluarga sangat besar dalam membina masa depan anak.
b. Peran Perempuan Melayu dalam Masyarakat
Pada umumnya, perempuan Melayu Riau baru berkecimpung dalam masyarakat setelah berkembangnya pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Dalam hal ini penulis akan menguraikan beberapa tokoh perempuan Melayu Riau yang diketahui, terutama yang pernah menyumbangkan tenaga maupun pemikirannya dalam meningkatkan peran perempuan Melayu, baik dalam organisasi masyarakat maupun dalam pendidikan. Uraian peran perempuan dalam masyarakat Melayu akan dibagi atas dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1945 dan periode setelah tahun 1945.
Periode Sebelum Tahun 1945
Dang Merdu. Ia adalah tokoh perempuan Melayu Riau yang telah berhasil mendidik anaknya menjadi seorang laksamana, yaitu Laksamana Hang Tuah. Hang Tuah terkenal dengan perjuangannya di sekitar Selat Melaka, walaupun dia berasal dari rakyat biasa.
Cik Puan. Pada masa pemerintahan Sultan Siak V, yaitu Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810), Kerajaan Siak terkenal mempunyai dua belas daerah jajahan, bahkan masih mengadakan penyerangan ke Kerajaan Sambas di Kalimantan Barat. Dalam penyerangan ini, peran Srikandi Siak yang bernama Cik Puan juga besar (Lutfi, 1977: 253).
Tengku Agung.
Tengku Agung adalah Permaisuri Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II. Perannya dalam memajukan kaumnya ialah mendirikan sekolah perempuan yang bernama Latifah School, pada tahun 1926. Masa pendidikan di sekolah itu ditempuh selama 3 tahun, dengan beberapa guru, yaitu 1) Halimah Batang Taris dari Pematang Siantar yang mengajar vak bahasa Belanda; 2) Encik Saejah, istri Encik Muhayan dari Siak, mengajar vak jahit-menjahit; dan 3) Zaidar dari Payakumbuh, mengajar vak masak-memasak (Jamil, 1985: 1).
Di samping sekolah umum, sekolah agama pun telah maju, baik untuk kaum perempuan maupun untuk kaum lakilaki. Sekolah untuk kaum perempuan bernama Madrasatun Nisak yang terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat Ibtidaiyah, selama 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah, selama 2 tahun.
Para guru sekolah agama tinggal di Istana Kesultanan Siak (Istana Melintang) bersama dayang-dayang. Guru-guru tersebut antara lain Raudha, Misbah Thaib, Fatimah, Rohana, Rohani, dan lainnya. Murid yang tamat dari Madrasatun Nisak kemudian melanjutkan ke Kuliatul Mualimat Islamiah (KMI) di Padang Panjang, karena Sultan Siak berhubungan baik dengan pemimpin Diniyah Putri Padang Panjang. Sultan dan permaisuri selalu berkunjung ke sana, baik untuk istirahat ke Bukittinggi maupun meninjau murid-murid dari Kerajaan Siak yang mendapat beasiswa dari kerajaan, seperti Misbah Thaib, Tengku Aisyah, dan lainnya.
Pelajaran dilaksanakan pada pagi hari, sedangkan sore hari belajar di sekolah agama. Dengan demikian, mereka telah membina perempuan-perempuan lain agar nantinya dapat membina keluarga dan anak-anaknya menjadi manusia berguna.
Pada tahun 1926 pemerintah Belanda juga mendirikan sekolah umum, seperti Volk School (Sekolah Desa) dan HIS.
Periode Setelah Tahun 1945
Tengku Maharatu.
Tengku Maharatu adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang kedua, setelah permaisuri pertama, Tengku Agung meninggal dunia. Dia melanjutkan perjuangan kakaknya dalam meningkatkan kedudukan kaum perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan mengajarkan cara bertenun yang kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun Siak yang merupakan hasil karya kaum perempuan telah menjadi pakaian adat Melayu Riau yang dipergunakan dalam pakaian adat pernikahan dan upacara lainnya. Berkat perjuangan permaisuri pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri kedua, perempuan yang tamat dari sekolah Madrasatun Nisak dapat menjadi mubalighat dan memberi dakwah, terutama kepada kaum perempuan.
Raja Khodijah binti Raja H. Usman. Ia adalah salah seorang tokoh perempuan dari Kepulauan Riau yang berkecimpung dalam masyarakat sebagai pemimpin organisasi, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Dia Lahir di Daik Lingga pada 21 Februari 1919. Pendidikannya adalah Inlandsche School (5 tahun) di Daik dan tamat tahun 1932. Pendidikan terakhir Kweek School Nieuwe Stijl (Gaya Baru) di Tanjungpinang tahun 1950. Sejak tahun 1937, dia menjabat sebagai pemimpin Aisyiyah, kemudian pada zaman Jepang ikut aktif dalam organisasi wanita (Fujinkai).
Pada masa Agresi Belanda kedua, dia aktif dalam organisasi BKIR (Badan Kebangsaan Indonesia Riau) dan KRIR (Kaimoyapan Rakyat Indonesia Riau). Tahun 1951, ia mulai ikut berpolitik dan memasuki Partai Islam. Tahun 1985, ia menjadi anggota DPRD Tk. II Kepulauan Riau mewakili Partai Persatuan Pembangunan. Dari pendidikan dan kegiatan atau pengabdiannya, dia telah mempunyai keinginan besar untuk memajukan perempuan Melayu Riau seperti perempuan lainnya.
Syahawa H. B. Syahawa H. B. adalah seorang perempuan Melayu Riau yang telah ikut berjuang untuk memajukan kaumnya di Riau. Pendidikannya adalah HIS di Siak Sri Indrapura dan Kweek School di Bukit Tinggi (Sekolah Pendidikan Guru). Pada zaman Jepang, dia dikirim ke Padang untuk mengikuti kursus pertenunan.
Sampai tahun 1940 dapat dikatakan bahwa dia adalah sedikit contoh di antara wanita terpelajar di Melayu. Selama di Siak dia selalu mengadakan kegiatan bagi kaum perempuan, terutama jahit-menjahit dan tenunan Siak. Pada tanggal 16 Juli 1945 dia menikah dengan Hasan Basri (Perwira Peta). Pada tanggal 22 Oktober 1945 Hasan Basri diangkat sebagai pemimpin TKR/TNI di Riau. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, Syahawa menjabat sebagai ketua organisasi ibu-ibu TNI yang bertugas memberikan informasi pada masyarakat umum dan kaum ibu tentang makna dan tujuan perjuangan, agar mendapat dukungan dari masyarakat dan sekaligus mengumpulkan bahan makanan dan sumbangan untuk dikirim ke garis depan (Effendy dan Effendy, t.t.: 41). Dia bekerja di dapur umum dengan Khadijah Ali, pemimpin Muslimat Riau, Rajiah Rahim dari Palang Merah, dan Fatimah Soldir dari Putri Kesatria.
Pada tanggal 16 September 1949 Syahawa H. B. disergap oleh Belanda (KNIL) saat dia bersembunyi di sekitar Siak Sri Indrapura untuk menunggu kelahiran bayinya yang ketiga. Oleh karena pandai berbahasa Belanda, maka dia dapat menghadap Perwira Distrik KNIL. Sejak itu dia menjadi tawanan Belanda dan baru bebas setelah pemulihan kedaulatan RI.
Setelah Indonesia merdeka, dia bersama suaminya, Letkol Hasan Basri, pindah ke Jakarta di awal tahun 1950. Di Jakarta Letkol Hasan Basri mengundurkan diri dari dinas militer, sementara Syahawa H. B. aktif di berbagai organisasi seperti Kerukunan Wanita Riau, Koperasi Wanita, dan lain-lain. Syahawa H. B. sampai akhir hayatnya terkenal sebagai perias pengantin Melayu Riau, khususnya pakaian adat Siak. Di rumahnya terdapat alat tenun Siak tradisional yang masih dimanfaatkan sampai sekarang. Syahawa-Basri pun pernah diundang ke Singapura dan Malaysia untuk merias pengantin dengan adat Melayu Riau. Oleh karena mahir dan serasinya beliau menggunakan adat Melayu Riau khususnya Melayu Siak, maka apabila ada pesta atau acara resmi dengan menggunakan adat Melayu tanpa Syahawa H. B. rasanya kurang sempurnalah adat Melayu Siak yang akan ditampilkan itu.
Hasan Basri dan Syahawa H. B. pernah diundang oleh Gubernur Riau, Haji Imam Munandar, untuk mengisi acara kunjungan Presiden Pakistan Zia Ul Haq ke anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah. Pada waktu itu, Hasan Basri bersama istri sempat ditepungtawari oleh Presiden Pakistan dan Presiden Suharto. Adapun kegiatan Syahawa H.B. yang terakhir ialah mempersiapkan pakaian Melayu Riau dari tiap kabupaten seluruh Provinsi Riau atas permintaan pengurus Sanggar Putih Melati Jakarta. Dalam penampilan pakaian tersebut, Syahawa H. B. meninggal dunia, sehingga penampilan busana Riau baru dapat disiarkan TVRI pada tanggal 18 November 1985 dalam Berita Nasional pukul 19.00 WIB. Kini Syahawa H. B. telah tiada. Dia sangat dikenal masyarakat Jakarta, khususnya daerah Menteng, karena selalu mempopulerkan adat-istiadat Melayu Riau, khususnya Melayu Siak Sri Indrapura.
Khadijah Ali.
Beliau adalah seorang tokoh pemuka masyarakat yang berasal dari Pekanbaru. Dia lahir di Pekanbaru, pada tanggal 25 Oktober 1925. Pendidikan terakhir adalah Diniyah Putri tahun 1938 di Padang Panjang. Tahun 1944 (zaman Jepang) dia bekerja di bidang organisasi wanita (Fujinkai) bagian Hahanokai (penerangan). Kegiatan pada zaman Jepang adalah jahit-menjahit dan belajar memasak. Tahun 1946–1947, dia menjabat sebagai Ketua Panitia Pemberantasan Buta Huruf (membaca menulis) atas nama organisasi Aisyiah. Oleh karena aktivitasnya ini, ia mendapat surat penghargaan dari Menteri Pengajaran dan Pendidikan Mr. Ali Sastroamijoyo. Beliau pernah menjadi Ketua Kursus Pendidikan Umum Bahagian Atas (KPUA) selama 3 bulan dengan matapelajaran jahit-menjahit, masakmemasak, dan pengetahuan umum. Khadijah Ali merupakan tokoh perempuan Melayu Riau, namun tetap menjalankan fungsi sebagai istri, ibu rumah tangga, dan pemuka masyarakat yang telah berperan aktif di bidang pendidikan formal dan nonformal. Ia juga aktif di bidang pemerintahan, karena posisinya sebagai penasihat ahli di kantor BP4 sejak tahun 1963.
Fatimah binti Suhil.
Beliau adalah seorang perempuan Melayu Riau yang telah mendapat pendidikan Kuliatul Mualimat lslamiah di Padang Panjang. Dia lahir di Bagan Siapi-api pada tanggal 11 November 1925. Pendidikan Kuliatul Mualimat Islamiah tidak diselesaikan karena pada tahun 1943, ia harus kembali ke Siak Sri Indrapura karena Jepang memasuki Singapura, sehingga tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pendidikannya. Di Siak ia aktif di redaksi Riau Koho (surat kabar Jepang) yang beranggotakan Fatimah, Rohani, Misbah Taib, dan lain-lain. Tahun 1944–1946 menjadi anggota Palang Merah bersama Rohani, Misbah Thaib, dan lainnya dengan tugas memberi makan pasukan gerilya, menjahit pakaian dan alat perlengkapan tentara lainnya yang didatangkan dari Singapura. Kegiatan lain yang berhubungan dengan agama ialah memberi wirid pengajian kepada kaum ibu dan Barzanzi marhaban yang merupakan kegiatan kaum perempuan yang dilaksanakan pada waktu upacara pesta pernikahan, khitan, dan waktu mencukur rambut bayi saat berumur 40 hari (Aziz, 1976: 29).
c. Peran Perempuan Melayu dalam Adat Pernikahan
Dalam adat pernikahan, perempuan Melayu Riau berperan antara lain sebagai: penghias, mak Andam, penenun kain.
Penghias.
Perempuan Melayu berperan sebagai penghias tepak, yaitu mengukir atau membentuk daun sirih. Tepak (tempat sirih, pinang, kapur, gambir, dan tembakau) merupakan inti dari segala kegiatan. Tanpa tepak, upacara pernikahan dianggap tidak beradat. Sebelum dipersembahkan, tepak harus dihias dengan membentuk daun sirih dan pinang dengan ukiran tertentu. Bagian luar/tutup tepak dihias dengan kain tenun Siak berbentuk bunga sesuai dengan bunga yang terdapat dalam seni hias tenun Siak. Fungsi tepak adalah sebagai pembuka kata dalam pertemuan adat. Selanjutnya beberapa tangkai sirih yang telah diukir dibawa oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Beberapa tangkai sirih yang telah diukir disebut “bunga genggam” atau “bunga lelat”.
Selain menghias tepak, perempuan Melayu juga berperan mengukir kertas bunga atau ulur-ulur atau bendera hias pada tabak atau kepuk. Menurut upacara adat daerah Bengkalis, tabak atau kepuk merupakan tempat nasi kunyit dan telur yang diletakkan di hadapan pelamin. Tabak berwarna merah dan terdiri dari beberapa tingkat sesuai stratifikasi sosial masyarakat di Riau, khususnya yang berada di bawah naungan Kerajaan Siak. Jika keturunan raja, tabak terdiri dari tujuh tingkat; keturunan tengku atau bangsawan, terdiri dari lima tingkat; dan orang kebanyakan terdiri dari tiga tingkat. Nasi kunyit dan telur juga berfungsi dalam upacara Khatam Al Quran yang dilengkapi dengan Barzanzi dan marhaban.
Mak Andam.
Peran Mak Andam selain mengandam dan merias pengantin juga sebagai penjaga pintu masuk rumah pengantin perempuan. Sebelum pemimpin rombongan pengantin laki-laki membayar pajak untuk melewati pintu rumah pengantin perempuan, pintunya akan ditutup oleh Mak Andam dan kawan-kawannya dengan kain panjang. Apabila pajak telah dibayar dan lolos dalam membalas pantun, pintu akan terbuka dan pengantin laki-laki masuk, kemudian duduk di singgasana. Setelah bersanding, tugas Mak Andam ialah memutar-mutar “bunga genggam” atau “bunga lelat” yang dibawa oleh pengantin laki-laki di atas kepala kedua pengantin sebanyak tujuh kali, lalu “bunga/sirih lelat” tersebut diletakkan di tengah gerai (Suwondo dkk., 1977/1978: 130) atau tangga pelamin sebagai lambang penyataan cinta kasih antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Tanpa Mak Andam, adat-istiadat pernikahan tidak dapat dilaksanakan, walaupun pernikahan itu sah melalui kadhi. Pernikahan baru resmi disebut beradat apabila tata-cara adat diikuti seperti yang telah diatur oleh Mak Andam.
Penenun Kain Tenun Siak.
Kain tenun Siak adalah hasil teknologi tradisional yang diusahakan oleh perempuan Melayu Riau, khususnya di daerah Siak Sri Indrapura. Kain tenun Siak merupakan salah satu identitas hasil kebudayaan Melayu Riau. Kain tenun Siak yang diperuntukkan bagi perempuan berupa kain dan baju kurung, sedangkan bagi laki-laki berupa teluk belanga dan kain sarung. Setiap orang dapat memilikinya sesuai dengan kemampuannya. Pada waktu Kesultanan Siak masih berkuasa, tenun Siak yang berwarna kuning hanya boleh dipakai oleh keturunan raja. Seni hias/gambar pada kain tenun berupa pucuk rebung, tampuk manggis, bunga melati, daun paku gajah, dan sebagainya.
Dari beberapa contoh yang penulis kemukakan terbukti bahwa perempuan Melayu Riau telah berperan dalam melestarikan kebudayaan daerah Riau khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
4. Peran Perempuan Melayu Riau Tahun 1950–1985
Peran perempuan Melayu Riau sejak tahun 1950 sangat bervariasi, mulai sebagai istri, ibu rumah tangga, pemuka masyarakat, hingga pegawai negeri. Secara umum, peran tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain bidang; (a) pendidikan, (b) masyarakat.
Bidang Pendidikan.
Pendidikan formal dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas sudah merata sejak tahun 1950, sedangkan pendidikan tinggi baru berkembang di tahun 1966 dengan jumlah sarjana yang masih terbatas. Peran perempuan Melayu Riau meningkat sejalan dengan berkembangnya sektor pendidikan, baik sebagai guru, pemimpin organisasi, maupun sebagai pengusaha. Biasanya semakin tinggi pendidikan, semakin mantap pula perhatian perempuan terhadap keluarga dalam mencetak manusia-manusia cerdas dan terampil. Tokoh-tokoh perempuan Melayu Riau yang penulis hubungi sebagian besar berperan sebagai guru, baik guru sekolah umum maupun sekolah agama, serta sebagai da‘i.
Dalam pendidikan nonformal, kegiatan kaum perempuan berbentuk kursus-kursus, antara lain Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, kursus masalah gizi, kursus masalah Keluarga Berencana (KB), kursus menjahit, kursus memasak, dan sebagainya.
Kursus-kursus itu biasanya dilaksanakan tiga kali seminggu. Hasil keterampilan itu sangat berguna bagi ibu-ibu rumah tangga atau para remaja perempuan sebagai modal dasar untuk membina rumah tangga yang sejahtera.
Bidang Masyarakat (Organisasi).
Beberapa perempuan Melayu Riau berperan aktif dalam organisasi kemasyarakatan seperti Organisasi Sosial Aisyiyah di Pekanbaru yang dipimpin oleh Khadijah Ali dan Organisasi Aljamiatul Washliyah yang dipimpin oleh Hj. Faridah. Kegiatan mereka lebih banyak dalam bidang agama dengan memberi dakwah, memimpin wirid Yasin, Barzanzi, dan marhaban yang disertai dengan kumpulan “Rebana”. Kegiatan perempuan Melayu Riau yang banyak pada saat ini adalah Barzanzi dan marhaban yang boleh dikatakan sebagai salah satu identitas kebudayaan Melayu Riau. Keanggotaan dan kepemimpinan perempuan dalam kegiatan ini telah mengalami perkembangan.
Selanjutnya peran perempuan Melayu Riau telah meningkat dengan adanya anggota DPRD perempuan, seperti R. Hatijah dari Tanjungpinang; Khadijah Ali, Maimanah Umar, dan lainnya dari Pekanbaru. Adapun Fatimah binti Suhil duduk di organisasi wanita Al Hidayah di bawah naungan Golkar. Hal ini berarti bahwa tugas kaum perempuan Melayu sekarang telah bertambah, yakni di samping sebagai istri pendamping suami, sebagai istri pembina rumah tangga sejahtera, juga sebagai anggota masyarakat dan pemimpin organisasi masyarakat. Sebagian besar perempuan Melayu juga telah bekerja dalam lembaga pemerintah maupun swasta. Dalam berbagai bidang, peran perempuan sudah mulai mengimbangi laki-laki. Kaum perempuan dituntut seperti yang ditetapkan dalam Panca Dharma Wanita berikut, yakni (a) wanita sebagai pendamping suami yang setia; (b) wanita sebagai penerus keturunan bangsa; (c) wanita sebagai pendidik dan pendamping anak; (d) wanita sebagai pengatur rumah tangga; (e) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Berdasarkan isi Panca Dharma Wanita, tampak peran ganda perempuan untuk membaktikan diri dalam rumah tangga, bangsa, dan negara, demi tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
5. Kesimpulan
Peran perempuan Melayu Riau sebelum tahun 1950 lebih banyak dalam keluarga, baik sebagai istri, ibu, maupun berwiraswasta (home industry). Walaupun demikian, perempuan Melayu Riau tetap ikut berjuang seperti, Cik Puan yang telah ikut berjuang pada masa pemerintahan Sultan Siak V, Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810) dalam usaha pengembangan wilayah kekuasaan Kerajaan Siak.
Beberapa perempuan Melayu Riau telah memajukan pendidikan di awal abad ke-20 dengan berjuang melalui peningkatan pendidikan formal dan nonformal kaum perempuan. Kaum perempuan Melayu Riau juga telah memajukan bidang kesenian, meliputi seni suara, seperti Barzanzi dan marhaban. Seni menghias dan mengukir alatalat perlengkapan pernikahan yang bernafaskan Kemelayuan Riau, seperti membuat kain tenun Siak, juga dilakukan perempuan.
Peran perempuan Melayu Riau meningkat sesuai dengan perkembangan zaman, terutama sesudah tahun 1950. Sebagian besar perempuan Melayu Riau bekerja di jawatan pemerintah, bahkan telah duduk menjadi anggota DPRD. Dengan demikian mereka telah menunjukkan kemampuan kaum perempuan Melayu Riau dalam berjuang mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Berdasarkan observasi, wawancara, dan pembahasan, penulis menyarankan beberapa hal berikut, yakni (a) upacara adat seni Melayu yang bernafaskan agama Islam sebaiknya dilestarikan, karena agama Islam merupakan salah satu ciri kebudayaan Melayu; (b) tepak dan kepuk perlu dibudayakan kembali, karena tepak dan kepuk yang terletak pada bagian tertentu dari tingkatan tabak merupakan lambang kemakmuran dan kesuburan; (c) pembuatan kain tenun Siak sebagai salah satu unsur teknologi tradisional Melayu Riau yang dapat dijadikan atraksi pariwisata perlu dilestarikan. Pembuatan kain tenun Siak merupakan salah satu kegiatan yang dapat menambah penghasilan rumah tangga masyarakat Melayu Riau.
Oleh Nanum Sofia, Penggiat Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Yogyakarta
Daftar Pustaka
http://www.pusdatin-puanri.org http://melayuonlie.com
Ahmad, M. 1985. Orientasi Nilai Masyarakat Melayu: Perubahan dan Perkembangannya. Makalah Pertemuan Budaya Melayu, 31 Januari–2 Februari 1985.
Aziz, M. M. 1976. Peranan Sultan Syarif Kasim II dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Siak Sri Indrapura. Tesis, Pekanbaru.
Effendy, T. dan N. Effendy. Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pekanbaru: Badan Pembina Kesenian Daerah Provinsi Riau.
Haji, R. A. 1965. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu dan Bugis. Singapura: Malaysia Publication.
Hall, D. G. E. 1981. Sejarah Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hamka. T.t. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Jamil, M. 1985. Mengenang Seorang Pejuang Wanita Riau dalam Revolusi Kemerdekaan. Pekanbaru: Sukabina.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar llmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Krom, N. J. 1950. Zaman Hindu. Jakarta: Pembangunan.
Lutfi, M. dkk. 1977. Sejarah Riau. Pekanbaru.
Ryan, N. J. 1962. Sejarah Semenanjung Tanah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Suwondo, dkk. 1977/1978. Adat-istiadat Daerah Riau. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun Kabupaten Dati II Indragiri Hilir. 1985. Kebudayaan Melayu Riau Sepintas Kilas. Makalah Pertemuan Budaya Melayu, 31 Januari–2 Februari 1985, Pekanbaru.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.