Dan kali ini saya akan mempertegas kembali cerita sejarah di Bumi Melayu Lancang Kuning ini dengan mengutip wawancara bersama Wah Ghalib pada saat Hari Jadi Provinsi Riau ke-52 di tahun lalu :)
Napak Tilas HUT Riau ke-52
Perjalanan Meretas Belenggu
Suatu pagi menjelang siang di bulan Juli 1954. Udara sedikit panas dan berdebu. Aktivitas Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta sibuk. Calon penumpang didominasi oleh tentara. Hanya beberapa gelintir saja orang sipil itu terlihat seorang pemuda sedikit kurus. Ia menunggu kesempatan untuk dapat menumpang pesawat yang akan ke Padang. Tujuannya adalah Pekanbaru lewat jalan darat.
Ia bersama empat orang sipil lainnya bergegas naik pesawat dan mendapat tempat duduk dekat jendela. Pemuda itu meletakkan bawaannya di dalam pesawat. Ia pun duduk sembari meluruskan kakinya me;epas penat. Namun belum sempat bernafas lega datang pengumuman dari kokpit pesawat agar empat orang penumpang sipil segera turun kembali dari pesawat karena ada empat orang tentara yang ada keperluan ke Padang.
Kecewa, tapi apa daya. Pemuda itu bersama empat orang sipil lainnya pun turun. Mereka pahan bahwa era itu adalah era-nya militerisme. Selain tentara hanya warga kelas dua. Ia hanya bisa melihat pesawat itu kemudian bergerak di landasan pacu dan membumbung ke udara. Bersama harapannya ke Pekanbaru yang sirna. Ia terpaksa menunggu pesawat keesokkan harinya. Ia hanya tak menyangka bahwa Tuhan sedang menyelamatkannya.
Udara cerah begitu pesawat mendarat di Bandara Tabing, Padang . Sejumlah polisi militer (PM) dari Dewan Banteng segera menyongsong pintu pesawat terbuka. Dengan senjata lengkap mereka bertanya apa ada di penerbangan ini warga sipil. Ternyata mereka mencari seseorang.
“Mana Wan Ghalib?”, tanya komandan regu PM Banteng kepada sejumlah tentara yang ada.
Tak ada yang mengenalnya. Komandan regu segera memberi hormat ketika seorang perwira TNI Letkol Hasan Basri ikut turun dari pesawat.
“Mengapa mencari Wan Ghalib?” tanyanya kepada para polisi militer itu. “Dia tokoh pergerakkan di Riau yang mau memisahkan diri dari Sumatera Tengah. Kalau ada di pesawat ini kami akan menangkapnya dan mengirimnya ke Camp Situjuh, biar tahu rasa dia”, jawab sang komandan PM dengan tegas.
“Kalau tak ada sekarang tak apa, besok kita patroli lagi,” ujarnya sembari memerintahkan anggotanya kembali ke mobil.
Letkol Hasan Basri pun berlaku. Yang komandan PM itu tidak tahu adalah Letkol Hasan Basri salah seorang perwira Dewan Banteng yang intelektual dan kenal baik dengan Wan Ghalib. Ia paham apa yang diperjuangkan aktivis pergerakkan Riau itu. Secara diam-diam, Letkol Hasan Basri memberitahukan kepada teman Wan Ghalib dan meminta agar aktivis itu tidak pulang ke Pekanbaru, karena sudah ditunggu dan akan dikirim ke Camp Situjuh. Akhirnya Wan Ghalib pun batal pulang ke Pekanbaru
“Mengapa saya katakan ini pertolongan Allah SWT, jika letkol Hasan Basri tidak berangkat , maka kami tidak akan tahu bahwa saya sedang dicari-cari ole PM Dewan Banteng,” ujar Wan Ghalib. Tokoh pendiri provinsi Riau yang kini semakin uzur dimakan usia itu, ia menceritakan kembali pengalamannya 52 tahun lalu sebelum Riau jadi provinsi sendiri seperti saat ini.
Sebelum Riau menjadi provinsi berdaulat (menjadi provinsi sendiri), Riau masih bergabung dengan Provinsi Sumtera Tengah yang ibukotanya berkedudukan di Sumatera Barat (Sumbar). Provinsi Sumatera Tengah sendiri ketika itu wilayahnya Sumbar, Riau, dan Jambi.
Pembentukkan Provinsi Riau lepas dari Provinsi Sumatera Tengah mendapat tantangan dari penguasa waktu itu. Jika ada saja masyarakat yang berbicara tentang Provinsi Riau bersiap-siaplah akan dibawa ke camp penjara di daerah Situjuh. Pada masa itu sangat banyak aktivis Riau yang diantar dan dibuang ke campSitujuh tersebut. Jika sudah masuk dan diantar ke camp jawabannya pasti mati, tidak ada yang selamat jika sudah berada di dalam camp tersebut.
“Saya termasuk tokoh yang paling dicari untuk dimasukkan kedalam camp Situjuh tersebut, akan tetapi Allah SWT, mungkin kita tidak bisa bertemu dan wawancara seperti ini”, tutur Wan Ghalib saat berbincang dengan Riau Pos pekan ini.
Meski mulai uzur dimakan usia dan kerap jatuh sakit, saksi sekaligus pelaku sejarah pendiri Provinsi Riau ini tetap tak kehilangan semangat hidup. Ia masih ingat berbagai lintasan peristiwa yang dialami dirinya dan sejumlah aktivis Riau waktu itu yang memimpin sebuah Riau yan berdaulat dan berdiri sendiri
Melawan ketidakadilan
Wan Ghalib pun menuturkan kepada Riau pos mengapa mereka berjuang agar Riau jadi provinsi tersendiri. Menurutnya penderitaan demi penderitaan dialami rakyat Riau saat menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah tersebut. Berbagai sendi kehidupan tidak ada yang maju. Rakyat banyak yang miskin, pendidikan terabaikan apalagi sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sebagainya.
Ketidakadilan sangat dirasakan, kekayaan yang dimiliki negeri yang bernama Riau itu terus dikeruk habis, tidak ada yang dikembalikan ke Riau, semuanya diangkut ke ibukota provinsi Sumatera Tengah yang berkedudukan di Sumatera Barat dan kemudian dikirim ke ke Jakarta. Pedih dan derita ditanggung rakyat Riau , hasil kekayaan negeri yang dimiliki “sedikit haram” tidak dirasakan rakyat.
“Pedih sangat pedih penderitaan yang dialami rakyat Riau ketika masih bersama dengan Provinsi Sumatera Tengah itu”, kenangnya. Berkat informasi letkol Hasan Basri ia pun membatalkan niatnya pulang ke Pekanbaru. Ia kemudian bertahan di Jakarta dan kemudian menjadi Ketua Badan Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Riau di Jakarta. Ketika itu Riau tidak dipandang, kekayaan yang ada diambil dan dikeruk habis dan dibawa dan tidak ada yang dibalikkan untuk membangun berbagai kepentingan Riau. Rakyatpun hidup dengan melarat, pendidikan rakyat tidak diperhatikan, akibatnya rakyat menjadi bodoh.
Lebih lanjut Wan Ghalib menceritakan bahwa Provinsi Sumatera Tengah yang pada ketika itu dikuasai militer yakni Dewan Banteng memang sangat semena-mena dalam memerintah. Orang-orang Riau yang menjadi camat, bupati maupun gubernur mereka ganti dengan orang-orang mereka yang berasal dari luar Riau. “Saat itu, orang Riau tidak menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri, semuanya dikuasai oleh orang lain,” ujar Wan Ghalib.
Upaya-upaya pembodohan terhadap masyarakt Riau terus dilakukan. Sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam yang juga sebagai penopang pembangunan Sumatera Tengah, di Riau malah tidak ada sekolah sama sekali. Sementara ibukota Sumatera Tengah sana, di semua kecamatan berdiri sekolah-sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Mereka bangun sekolah dan berbagai sarana infrastruktur lainnya di ibukota Sumatera Tengah dengan kekayaan negeri Riau ini. “Bahkan, universitas yang ada sekarang itu dibangun dengan menggunakan hasil kekayaan ikan dari Bagansiapi-api, sementara Riau tidak diperhatikan dan dibiarkan,” ujarnya.
SMA pada ketika itu di Riau hanya ada di Tanjung Pinang, itupun bukan dibangun oleh pemerintah provinsi akan tetapi sekolah peninggalan Belanda. SMA yang ada di Pekanbaru juga bukan dibangun oleh pemerintah akan tetapi swasta dalam hal ini PT Caltex.
Inilah selanjutnya menjadi cikal bakal rakyat Riau “berontak”. Jika terus seperti ini, Riau tidak akan maju-maju. Selagi Riau masih dibawah Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak akan hidup berkembang, selagi masih bernaung dibawah Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak bisa hidup di kampungnya sendiri. “Tindakan penguasa saat itu sangat melukai hati rakyat, karenanya mulailah muncul perlawanan-perlawanan dan diwacana pembentukan Provinsi Riau,” ujarnya.
Uang Belanja Isteri
Perjuangan untuk memisahkan diri dari kungkungan Provinsi Sumatera Tengah terus digelorakan. Pada Kongres Rakyat Riau (KRR), maka disepakati lah pembentukkan Badan Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Sumatera Tengah, kami dengan niat yang mantap berangkat ke Jakarta guna memperjuangakan Provinsi Riau,” ujarnya.
Sejak diamanahkan untuk berjuang di Jakarta bersama sembilan teman yang lain masing-masing Tengku Arief, Abdul Manaf Hadi, Hasan Ahmad, Abdul Jalil M (Sekretaris), Kamaruddin, DM Yanur (Wakil Ketua), Wan Ghalib (Ketua), Aidir Sani dan Azhar Husni, secara perlahan namun pasti upaya lobi ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) terus dilakukan.
Untuk berjuang membentuk provinsi tersendiri, menurut Wan Ghalib lagi mereka tidak pernah mendapatkan uang sedikitpun. “Pandai-pandai kamilah di Jakarta berjuang, terkadang uang belanja isteri kami pakai untuk berjuang. Pernah isteri saya bilang jika sudah terbentuk Provinsi Riau, kembalikan uang belanja saja. Tak tahu siang atau malam, kami terus berjuang,” tutur Wan mengisahkan masa lalunya.
Susahnya membentuk provinsi itu, dikarenakan partai-partai yang berkuasa saat itu dikuasai atau dipegang oleh saudara-saudara kita yang berasal dari Sumbar. Mereka rata-rata yang menghalagi keinginan untuk pembentukkan Provinsi Riau tersebut. Namun kami tak gentar, upaya lobi ke Depdagri dan menggalang kekuatan media massa terus kami lakukan. “Setiap hari di media massa harus ada berita tentang keinginan pembentukkan Provinsi Riau,” ujarnya.
Hampir 2,5 tahun perjuangan untuk memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Tengah mulai menemui titik terang setelah diberlakukan UU darurat tanggal 9 Agustus tahun 1957. Di dalam UU darurat tanggal 9 Agustus tahun 1957. Di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi tiga provinsi masing-masing Provinsi Sumbar, Riau dan Jambi. Namun Dewan Banteng tidak setuju.
Dewan Banteng selanjutnya membentuk gubernur muda Riau yang dipegang oleh Syamsu Nurdin yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukkan DPR. “Nama saya juga dimasukkan sebagai salah seorang anggota DPR, namun saya tolak sebab mereka tidak berhak membentuk itu dan pemerintah Indonesia sendiri sudah tegas membentuk Provinsi Riau,” ujarnya.
Upaya lobi ke Mendagri yang saat itu Sanusi Hardja terus dilakukan dan kami katakan sebaiknya pembentukkan Provinsi Riau jangan lewat dari tanggal 31 Agustus karena pada tanggal tersebut Malaysia akan merdeka, karenanya dikhawatirkan akan ada gerakan-gerakan untuk bergabung dengan Malaysia. Mendagri pada ketika itu menjawab menjawab akan diusahakan dan akhirnya keinginan itu akhirnya terwujud.
“Isu akan ada gerakan untuk bergabung dengan Malaysia itu memang sengaja kami sampaikan agar pembentukkan Provinsi Riau itu bisa terwujud segera dan Alhamdulillah pada akhirnya keinginan itu terwujud dan sampai saat ini Riau menjadi salah satu Provinsi terkemuka di Indonesia,” ujarnya lagi.
Setelah resmi menjadi Provinsi Riau, maka selanjutnya dilantiklah Gubernur Riau yang pertama MR SM Amin pada tanggal 3 Maret 1958. Setelah terbentukpun masih banyak kerja yang harus diselesaikan terutama sekali menumpas para anggota Dewan Banteng yang masih enggan mengakui Provinsi Riau. Hingg saat ini, kisah penzoliman terhadap Provinsi Riau masih berlanjut, ketidakadilan birokrasi di pemerintahan pusat pada masa orde baru terutama dalam keadilan pemerataan pembangunan, keadilan pembagian DBH migas,infrastruktur, kelistrikan, dan lain-lain dikarenakan regulasi masih dipegang sesuai dengan kebijakkan pusat hingga pasca reformasi menghantarkan Riau menuju sebuah wacana khusus yaitu otonomi khusus Provinsi Riau, Sekarang perkerjaan itu masih banyak, mari ktia berjuang dan membangun Riau agar lebih baik dan maju seperti negara-negara lain, khususnya di Asia Tenggara.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.