Pages

Thursday, June 17, 2010

Tenun Songket Melayu Riau Pekanbaru



”Bertuah orang berkain songket

Coraknya banyak bukan kepalang

Petuahnya banyak bukan sedikit

Hidup mati di pegang orang”

”Kain songket tenun melayu

Mengandung makna serta ibarat

Hidup rukun berbilang suku

Seberang kerja boleh di buat”

”Bila memakai songket bergelas

Di dalamnya ada tunjuk dan ajar

Bila berteman tulus dan ikhlas

Kemana pergi tak akan terlantar”

Tenun Songket Melayu Pekanbaru merupakan kekayaan asli negeri bertuah, khasanah songket melayu Riau ini amatlah kaya dengan motif dan serat dengan makna dan falsafahnya, yang dahulu dimanfaatkan untuk mewariskan nilai-nilai asas adat dan budaya tempatan. Seorang pemakai songket tidak hanya sekedar memakai sebagai busana hiasan tetapi juga untuk memakai dengan simbol-simbol dan memudahkannya untuk mencerna dan menghayati falsafah yang terkandung di dalamnya. Kearifan itulah yang menyebabkan songket terus hidup dan berkembang, serta memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan mereka sehari-hari.



Songket Melayu Pekanbaru pada dasarnya berasal dari (turunan) Songket Melayu Siak. Bila dilirik dari sejarah seni dan budaya melayu di Pekanbaru , bermula pada saat Kesultanan Siak memindahkan pusat pemerintahan sekaligus ibukota kerajaan dari mempura (Siak) ke Kampung Bukit, Senapelan (Pekanbaru) dan dari kawasan yang berada di tepian sungai Siak itulah bermula negeri yang bernama Pekanbaru. Pada awalnya daerah Pekanbarupun merupakan salah satu negeri bahagian dari "Negara" Kesultanan Siak ini. Dengan berpindahnya pusat Kesultanan, tentu saja semua pusat perangkat negeri dan pusat kebudayaan melayu Kerajaan Siak pun juga berpindah ke Pekanbaru, sehingga, seiring waktu bergulir, Kesenian dan kebudayaan melayu pun berkembang pesat di daerah ini. Termasuk juga seni kerajinan Songket melayu yang pada saat itu sebagai simbol busana resmi kerajaan.



Seiring bergulirnya waktu pula, hingga sampai masa Riau bergabung dengan Indonesia merdeka, berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, seni dan budaya asli Pekanbarupun perlahan-lahan mulai hampir pudar dan terlupakan, khususnya kerajinan tenun songket melayu ini. Dan untuk mencegah pudarnya seni dan budaya melayu, maka pemerintah pada saat itu pun mulai kembali mengangkat dan mengembangkan nilai-nilai budaya melayu sebagai ciri khas dari daerah ini. Namun tidak begitu maksimal.

Dan seiring berkembangnya era demokrasi Indonesia hingga pasca otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengembangkan dan memajukan daerah termasuk dalam hal seni dan budaya lokal, maka dimulailah ide untuk kembali mengangkat batang yang terendam di Bumi melayu Lancang Kuning ini khususnya di kota bertuah Pekanbaru.


Tenun songket Melayu Pekanbaru digagas Puan Gemilang Songket Negeri Hj Evi Meiroza Herman. Bahkan apresiasi dan prestasi beliau mendapat penghargaan khusus dari Museum Rekor Indonesia (MURI).


Muri menilai tenun songket Melayu memberikan inspirasi dan motivasi kaum perempuan. “Tenun Songket Melayu Pekanbaru menimbulkan inspirasi kreatif yang dapat dikenakan kepada seluruh negara di dunia” ungkap Paulus Pangka, Manager Muri, pada acara penganugerahan rekor Muri tersebut di halaman Bandar Serai Pekanbaru



Selalu ingin berbuat lebih banyak dan bermanfaat bagi masyarakat dan negeri tercinta adalah cerminan sikap sejati dari seorang Hj Evie Mairoza Herman, yang mempunyai gelar Puan Sri Julang Songket Negeri.

Persebatian ide dan keinginan sangat kuat dalam dirinya untuk mengembangkan dan melestarikan tenun songket peninggalan masa silam mengantarkan dia berhasil menjulang marwah Negeri Bertuah. Sehingga Kota Pekanbaru menjadi kota cemerlang di tingkat nasional. Berbagai penghargaan pun di terimanya. Mulai dari penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) songket terpanjang di Indonesia 2005, dengan panjang songket 17 meter. Selanjutnya 2008 kembali MURI memberikan penghargaan dengan panjang songket 45 meter. Sedangkan akhir 2009, dirinya mendapat Penghargaan Upakarti Jasa Pengabdian dari Kementrian Kebudayaan Indonesia.


Jari-jari lembutnya memang tak begitu lihai menyusun benang demi benang menjadi tenunan songket yang bisa dipakai, tapi hati dan pikirannya terus bergerak, menyulam benang menjadi tenun yang lebih berani, lebih berarti, cerah dan indah dipandang mata.

Pemikiran besar mulai muncul, kata Evie Mairoza, sejak 1999. Saat itu sempat membuat dirinya gundah sehingga harus mewujudkan menjadi kenyataan. Agar terwujudnya tenun songket terkemuka, dirinya terus belajar dan bertukar pikiran dengan siapapun juga. Tidak hanya dengan tokoh budaya, tapi juga dengan para penenun terdahulu.

‘’Tak ada maksud lain dari keinginan dan hasrat yang kuat tersebut, melainkan membangkitkan kembali warisan budaya Melayu di tengah masyarakat dengan niat meningkatkan perekonomian warga melalui tenung songket,’’ kata Evie Mairoza lagi yang merasa senang dengan kerja sama dengan seluruh penenun dan masyarakat membuahkan hasil penghargaan dari Kementrian Pariwisata.

Diakuinya, songket memang sudah ada sejak lama, tapi songket yang dicerahkan dengan motif syarat makna dan filosofi bisa berkembang, terkenal, memasyarakat, meningkatkan ekonomi dan membawa nama harum negeri, itulah tujuan yang ingin dicapai dari pengabdiannya tersebut.

Pembelajaran, didukung sepenuhnya suami tercintanya, Drs H Herman Abdullah yang sehari-hari menjabat sebagai Wali Kota Pekanbaru. Menurutnya agar belajar menenun maksimal dirinya mulai mengumpulkan berbagai tenun songket terdahulu. Terutama yang berumur 50-200 tahun dan dari penenun aslinya. Bahkan diakuinya, dia tak segan-segan meminta tenunan itu untuk mempelajari setiap motif benang yang terpapar pada songket.

‘’Untuk belajar membuat motif, jujur saya tak segan untuk meminta songket kepada penenun aslinya,’’ ucapnya saat itu. Dengan belajar dan terus belajar itulah, diakuinya telah melahirkan 10 motif baru yang kemudian menjadi inovasi terbaru pada tenun songket dengan gaya dan warna berbeda namun tidak meninggalkan motif aslinya. Dari ke 10 motif baru inilah Evie menggandeng beberapa penenun dari 14 penenun yang sudah ada di Pekanbaru untuk membuat songket dengan warna-warna baru, meski diakuinya itu bukanlah hal yang mudah.

Ceritanya, setiap kuntum bunga yang dihasilkan selalu indah dan mengundang hasrat untuk menyentuh, membeli dan memakainya. ‘’Tidak ada bunga pada tenunannya yang tidak menyenangkan mata yang memandang. Jadi berbeda sekali dengan motif tempo dulu yang selalu menawarkan pilih-pilih selera karena minimnya motif,’’ ucapnya.

Dikatakannya 10 motif songket menjadi andalannya, yaitu siku keluang, dengan artian kepribadian yang memiliki sikap dan tanggung jawab menjadi idaman setiap orang Melayu Riau. Selanjutnya motif siku awan, dengan artian budi pekerti, sopan santun dan kelembutan akhlak menjadi asas tamadun Melayu, pengayoman terhadap masyarakat dengan budi pekerti yang luhur.

Selanjutnya pucuk rebung kaluk pakis bertingkat, melambangkan kemakmuran hidup lahiriyah dan batiniah. Sifat yang penting sesuai dengan ungkapan tahu diri dengan perintah, tahu duduk dan tegaknya, tahu alur dan patutnya. Kemudian motif pucuk rebung bertabur bunga cermai, dalam motif ini melambangkan nilai kasih sayang, hormat menghormati, lemah lembut dan bersih hati menjadi acuan dalam budaya Melayu Riau.

Motif berikutnya yaitu siku tunggal, mencerminkan sikap atau perilaku orang Melayu yang amat mengutamakan persebatian iman atau perpaduan umat baik antar sesama Melayu atau pendatang. Sedangkan motif daun tunggal mata panah tabir bintang, mengandung arti nilai falsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan kedamaian. Begitu juga dengan motif wajik sempurna melambangkan sifat Allah SWT yang maha pemurah.

Dan motif tak kalah menarik di antaranya, kata Evie Mairoza yaitu pucuk rebung bertali, yang melambangkan nilai budaya Melayu yang sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Tambahnya, setelah menghasilkan beberapa motif songket tersebut dirinya terus mengembangkan kerajinan tenun tersebut. Menurutnya, yang semula di Pekanbaru hanya 14 penenun kemudian jumlahnya terus melonjak di Pekanbaru yaitu menjadi 38 penenun. ‘’Pada umumnya para penenun yang saya gandeng para tenaga muda dan masih bersemangat untuk menenun,’’ jelasnya.

Tak hanya menggandeng kata Evie lagi, tapi pembinaan dan pembiayaan terus diberikan. Namun tidak dilepas begitu saja, sebab setiap ada kesempatan dirinya selalu berkunjung ke tempat penenun tinggal dan menjalankan aktivitasnya. Ternyata dalam karya yang membawa tuah negeri Pekanbaru ini tidak hanya sekadar rangkaian benang dan motif yang ditawarkan Evie. Sebab dalam karyanya tersebut, Evie juga menyampaikan syiar agama melalui tenun songketnya.

‘’Sebagian tenun saya bertuliskan salawat yang disuguhkan kepada masyarakat dengan iringan lagu-lagu islam beriramakan melayu berjudul ’’Riau Kemilau’’,’’ jelasnya. Makanya tak heran jika ada pagelaran baik dalam kota maupun luar kota bahkan manca negara Sanggar Mahratu yang dipimpinnya sendiri menyuguhkan penampilan dan atraksi seni songket beriring salawat dipadu dengan musik dan irama lagu Melayu.
Keberhasilan dirinya juga tak cukup dengan memperkenalkan Pekanbaru melalui benang meas dari panggung ke panggung untuk melakukan atraksi perkenalan songket yang ditenunnya. Akan tetapi Evie Mairoza juga menggoreskan karyanya itu dalam buku berjudul Songket dan Budaya Melayu 2005 lalu.

Ternyata kerja kerasnya itu benar-benar menghasilkan prestasi maksimal dan mencengangkan dan membawa semangat baru untuk terus maju mengangkat marwah negeri. ‘’Pujian dan elu-eluan bukan segalanya, tapi saya tetap akan melangkah bagaimana tenunan songket benar-benar membudaya dan dicintai masyarakat luas Riau dan khususnya di Pekanbaru ini,’’ ujarnya.




Angkat Kebudayaan jadi Sumber Ekonomi

Seorang Evie Mairoza tak akan berhenti berkarya, mungkin hal inilah bisa diucapkan setiap ide cemerlangnya terus dituangkan untuk kepentingan masyarakat Pekanbaru. Karena dorongan suami tercintanya, Drs H Herman Abdullah MM terhadap dirinya sangat besar, makanya dia tak berpuas hati sampai di situ saja untuk berbuat.

Kemudian dirinya saat sekarang sedang berupaya mengangkat kebudayaan menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Sudah pasti ini sangat menari disimak. Sebab jika hidup berbudaya sudah pasti mengangkat martabat dan marwah seseorang. Karena orang berbudaya naik setingkat lebih tinggi dibandingkan mereka yang tak mengenal budaya.



Bayangkan bagaimana jika budaya sudah menjadi adat (kebiasaan) dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian bayangkan lagi jika adat menjadi sumber rezeki yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat. Tentu tidak ada yang sulit jika kita mau membuka diri. Jika ada kemauan di situ ada jalan. Budaya mengangkat marwah, budaya menjadi adat sudah lazim didengar. Akan tetapi adat menjadi sumber perekonomian masyarakat, adalah sebuah gagasan cemerlang, Evie Mairoza Herman yang sudah dikenal dengan gelar Puan Sri Julang Songket Negeri Pekanbaru ini.

Dirinya menggagas lahirnya sebuat adat resam menjadi sumber perekonomian rakyat. Hati dan pikiran Evie Mairoza, memang tak pernah berhenti untuk berkarya dan mengembangkan potensi negeri yang suda ada menjadi sesuatu yang membanggakan. Tenunan benang-benang emas menjadi butir-butir penghargaan yang mengagumkan yang telah dia terima selama ini.

Karyanya di bidang tenun menenun yang ditunjukkan untuk mengangkat perekonomian masyarakat kurang mampu, tetap terus berlangsung hingga saat sekarang. Sekarang ini, ide untuk mengangkat budaya serupa dari sisi yang berbeda telah pun dirancangnya, yakni pernak-pernik adat pelaminan pengantin Melayu yang tetap disandingkan dengan tenung songket sebagai simbol kebudayaan Melayu.

Simbol-simbol budaya di dalam tradisi pengantin Melayu sangat banyak,sangat menarik dan unik. Terutama mulai dari acara merisik, mengantar belanja, malam berinai, tepung tawar dan masih banyak lainnya. Namun jika ditelusuri semua peralatan yang melengkapi perhelatan ini jika digesa dengan baik dan sesuai adat, sudah pasti akan mengangklat harga dan martabat keluarga pengantin perempuan.

Mungkin lebih dari soal marwah, pernak-pernik perlengkapan tersebut jika diolah dengan baik dan bagus, maka akan menjadi kerajinan yang mampu mengangkat perekonomian keluarga. Apalagi keluarga pengantin akan membeli dengan jumlah besar untuk seluruh tamu undangan yang datang dalam acara pernikahan tersebut.

Evie Mairoza mencontohkan, cenderamata yang dibawa pulang tamu undangan. Keluarga pengantin selalu membeli dengan jumlah besar tapi berasal dari daerah lain atau dari luar Pekanbaru, terutama di Jogjakarta dan Bandung. ‘’Dengan begitu tentu uang akan berputar di dua daerah tersebut. Makanya kita berharap pernak-pernik atau cenderamata yang dibawa pulang tamu berasal di Pekanbaru. Dengan begitu tentu harga lebih murah dan perekonomian para masarakat kerajinan tangan kita terangkat, ’’ jelas Evie Mairoza lagi.

Kemudian dia juga mencontohan hal lainnya, yakni saat pengantin pria mengantar belanja. Banyak pernak-pernik yang diperlukan seperti keranjang tempat hantaran. Jadi pengerajin lokal Pekanbaru bisa menyediakan peralatan ini dalam jumlah besar lengkap dengan isinya serta dilengkapi dengan simbol-simbol negeri pada setiap sisinya.

‘’Telur merah yang dibawa pulang tamu, juga sisi lain budaya yang bisa diharap dengan baik dan lagi-lagi menghasilkan uang dan mengangkat perekonomian warga,’’ lanjutnya lagi. Dengan begitu semakin bermakna dan terpandang jika semua pernak-pernik dalam perhelatan ini dilengkapi makna-makna sehingga keluarga penganti mengetahui apa yang tidak diketahuinya selama ini. ‘’Tak kenal maka tak mau. Tak kenal maka tak sayang,’’ ujar Evie Mairoza lagi.

Mungkin orang berusaha keras memakai adat Melayu dalam perkawinan tapi tidak mengetahi maknanya sehingga kesannya hanya setengah-setengah. Oleh sebab itu kalau mereka tahu makna dan simbol adat itu, marwah keluarga akan terangkat. Misalnya, kata Evie Mairoza, cenderamata yang dibawa pulang oleh tamu seperti telur merah. Itu perlu disosialisasikan lengkat dengan maknanya.

‘’Jika semua lengkap, marwah pengantin perempuan dan keluarganya akan jadi sanjungan. Bukan sebaliknya menjadi bahan perbincangan yang tidak enak didengar. Semua pernak-pernik ini akan menjadi sumber ekonomi. Dan sisi kerajinan seperti inilah perlu kita angkat,’’ jelasnya lagi.

Soal pengrajin di Pekanbaru, kata Evie Mairoza, sudah ada, bahkan lumayan banyak. Hanya saja menjadi persoalan, penetapan makna setiap pernak-pernik yang diperlukan dalam adatpernikah. Oleh sebab itu dia berharap, Lembaga Adat Melayu (LAM) bergegas menetapkan makan dan mensosialisasikan kepada setiap sanggar pengantin yang ada sehingga akan lebih tersosialisasi dengan baik jika itu dilakukan. Menurutnya, jika sudah ada penetapan makna, akan lebih bagus jika diseminarkan secara terbuka. Seminar ini juga sebagai salah satu bentuk sosialiasi kepada masyarakat agar mengetahui makna setiap simbol yang ada dalam pernikahan Melayu. Dikatakannya, sebagian besar warga Pekanbaru sudah menggunakan tradisi Melayu meski hanya sebentar.

‘’Maklum saja di pekanbaru ini sangat hetrogen. Misalnya masyarakat dari luar tetap akan memakai adat Melayu, meskipun mereka juga memakai adat mereka. Oleh sebab itu walaupun mereka memakai adat Melayu sebentar tapi ini perlu dipadatkan segala maknanya melalui simbol-simbol tadi. Walaupun memakai adat Melayu hanya sebentar tapi tepat dan bermarwah, sehingga tak terkesan hanya asal-asalan saja. Sebab selama ini masyarakat dari luar tak tahu simbol-simbol adat Melayu tersebut,’’ ucapnya.

Dikatakannya, pernak-pernik tersebut kini sudah banyak dijual masyarakat di Pasar Bawah. Sebagian merupakan hasil karya pengrajin kota lain, namun tak sedikit pula pernak pernik itu hasil karya masyarakat Kota Pekanbaru. ‘’Jika pasaran ini dikuasai warga Pekanbaru secara utuh, lagi-lagi Pekanbaru akan menjadi pusat perdagangan, dan dampaknya dirasakan utuh oleh warga Pekanbaru,’’ tegasnya.



Evie juga mencontohkan pernak-pernik lain yang jika digarap dengan serius dan dilengkapi dengan makna khusus akan mengandung makna yang tinggi. Misalnya, kata dia, meja beralas tenun songket motif pucuk rebung sebagai tempat hantaran belanja. Menurutnya, selama ini, hantaran belanja hanya diletakkan di lantai oleh tuan rumah. Padahal dengan meja khusus dan alas khusus yang mengandung makna, marwah pengantin perempuan dan keluarga terangkat setingkat.

‘’Selama ini, hantaran belanja dipamerkan di lantai. Setelah itu dibawa ke kamar, diangkat lagi ke tempat lain. Jadi tidak bermarwah. Coba kalau diletakkan di meja khusus beralaskan kain tenun pucuk rebung, maknanya akan berbeda. Dari sisi ekonomi, pengrajin alas meja dapat duit. Berputar lagi ekonomi warga ,’’ kata istri Wali Kota Pekanbaru ini.

Keinginannya untuk menjadikan simbol kebudayaan sebagai sumber perekonomian masyarakat tersebut diharapkan akan tercapai seperti yang telah dilakukan terhadap tenun songket. Tenun songket yang dirancang penuh dengan makna pada setiap garis dan baris benangnya itu, kini menjadi sumber pendapatan bagi kaum ibu di Pekanbaru.

Ini terbukti dengan semakin banyaknya jumlah pengrajin tenun songket. Konsumen yang datang memesan juga selalu bertambah setiap harinya.ang dikembangkan benar-benar mampu menjadi sumber ekonomi yang pastinya mendukung pekanbaru sebagai kota perdagangan.

Begitu juga diharapkan pada keperluan pernak-pernik pengantin nantinya. Setelah makna dari setiap simbol ditetapkan, dilanjutkan dengan produksi yang banyak sehingga akan diketahui masyarakat banyak. Dengan demikian pesanan akan terus berdatangan kepada pengrajin. ‘’Kalau saya hanya mendukung saja. Tukang mengajak mengayo-ayokan saja karena yang tahu segala makna itu pasti LAM. Kalau soal pembinaan kepada pengrajin, itu memang tugas saya bersama pengurus PKK. Itu sudah kita lakukan, bahkan kita sudah punya pengrajinnya. Sosialisasi lagi yang perlu, baik segi makna simbol ataupun penggunaannya,’’ beber Evie.

Kembali kata Evie, berhasilnya kerajinan tangan pernak pernik penuh dengan adat dan budaya tersebut tak terlepas dari sosialisasi.


Tenun Songket

Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang panjang telah melahirkan beragam jenis motif, yang mengandung makna dan falsafah tertentu. Motif-motif yang lazimnya di angkat dari tumbuh-tumbuhan atau hewan (sebagian kecil) di kekalkan menjadi variasi-variasi yang serat dengan simbol-simbol yang mencerminkan nilai-nilai asas kepercayaan dan budaya melayu.



Selanjutnya, ada pula sebagian adat istiadat tempatan mengatur penempatan dan pemakaian motif-motif di maksud, serta siapa saja berhak memakainya. Nilainya mengacu kepada sifat-sifat asal dari setiap benda atau makhluk yang dijadikan motif yang di padukan dengan nilai-nilai luhur agama islam. Dengan mengacu nilai-nilai luhur yang terkandung di setiap motif itulah adat resam tempatan mengatur pemakaian dan penempatannya, dan menjadi kebanggaan sehingga diwariskan secara turun temurun .
Orang tua-tua menjelaskan bahwa kearifan orang melayu menyimak islam sekitarnya memberikan mereka peluang besar dalam memilih atau menciptakan motif. Hewan yang terkecil seperti semut, yang selalu bekerja sama mampu membuat sarang yang besar, mampu mengangkat barang-barang yang jauh lebih besar dari badannya, dan bila bertemu selalu berangkulan, memberi ilham terhadap pencintaan motif untuk mengabadikan perihal semut itu dalam motif tersebut sehingga lahirlah motif yang dinamakan motif semut beriring.



Begitu pula halnya denagn itik yang selalu berjalan beriringan dengan rukunnya melahirkan motif itik pulang petang atau itik sekawan. Hewan yang selalu memakan yang manis dan bersih (sari bunga), kemudian menyumbangkannya dengan mahkluk lain dan bentuk madu dan selalu hidup berkawan-kawan dengan damainya melahirkan pula motif lebah bergantung atau lebah bergayut.



Bunga-bungaan yang indah, wangi dan segar melahirkan motif-motif bunga yang mengandung nilai dan filsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan kedamaian seperti corak bunga setaman, bunga berseluk daun dan lain-lain. Burung balam, yang selalu hidup rukun dengan pasangannya, melahirkan motif balam dua setengger sebagai cermin dari kerukunan hidup suami istri dan persahabatan. Ular naga, yang di mitoskan menjadi hewan perkasa penguasa samudra, melahirkan motif naga berjuang serindit mencerminkan sifat kearifan dan kebijakan. Motif puncak rebung dikaitkan dengan kesuburan dan kesabaran. Motif awan larat dikaitkan dengan kelemah-lembutan budi, kekreatifan, dan sebagainya.

Dahulu setiap pengrajin diharuskan untuk memahami makna dan falsafah yang terkandung di dalam setiap motif. Keharusan itu dimaksudkan agar mereka pribadi mampu menyerat dan menghayati nilai-nilai yang dimaksud, mampu menyebarluaskan, dan mampu pula menempatkan motif itu sesuai menurut alur dan patutnya. Karena budaya melayu sangat ber-sebati dengan ajaran islam, inti sari ajaran itu terpateri pula dengan corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat Nabi Muhammad SWT yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun islam, bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman, bentuk wajik dikaitkan dengan sifat Allah yang maha pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah yang maha mengetahui dan penguasa alam semesta, dan sekitarnya. Menurut orang tua melayu Riau, makna dan falsafah di dalam setiap motif, selain dapat meningkatkan minat-minat orang untuk menggunakan motif tersebut, juga dapat menyebar-luaskan nilai-nilai ajaran agama Islam yang mereka anut, itu lah sebabnya dahulu pengrajin diajarkan membuat atau meniru corak.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.