Pages

Friday, March 5, 2010

Raja Ali Haji, Bapak Bahasa Indonesia

Bapak Bahasa Indonesia, Seorang Sufi, dan Pahlawan Nasional



Sepenggal Gurindam Dua Belas

Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.

Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang ma'rifat

Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.

Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.

Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terpedaya.

Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia melarat.

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1808- Riau, ca. 1873) adalah ulama, sejarawan, pujangga, dan terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Kompleks makam keluarga Haji Ahmad di Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang

Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia lahir dua tahun setelah benteng Portugis /A-Famosa/ di Melaka diruntuhkan atas perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu juga sering memberikan nama anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek) apabila datuknya itu sudah meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam masyarakat Melayu.


Tahun kapan meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada fakta lain yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872, RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall, sarjana kebudayaan Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di Tanjungpinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa RAH meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat.


Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya, terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makamnya. Sehingga, setiap pengunjung yang datang dapat membaca serta mencatat karya maha agung tersebut.


Karya monumentalnya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan.


Pada tanggal 10 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada RAH pada saat peringatan Hari Pahlawan 10 November di Istana Negara, Jakarta. Buku karya RAH berjudul /Kitab Pengetahuan Bahasa/ (selesai ditulis tahun 1851 M, dicetak di Singapura tahun 1925 M) telah ditetapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 sebagai bahasa nasional (Indonesia). Atas dasar kontribusi yang sangat penting inilah, penghargaan tersebut memang layak diberikan kepada Raja Ali Haji.


Untuk kembali mengenang Raja Ali Haji, para sineas Indonesia mengangkat kembali sejarah beliau dalam Film MATA PENA MATA HATI RAJA ALI HAJI , berikut cuplikannya



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.