Pages

Saturday, February 27, 2010

Sejarah Riau : Sejarah Kesultanan Johor-Riau

Kesultanan Johor-Riau


Kesultanan Johor yang terkadang disebut juga sebagai Johor-Riau atau Johor-Riau-Lingga adalah kerajaan yang didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, putra sultan terakhir Melaka, Mahmud Syah. Sebelumnya daerah Johor-Riau merupakan bagian dari Kesultanan Melaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada 1511.

Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.

Sebagai balas jasa atas bantuan merebut tahta Johor Sultan Hussein Syah mengizinkan Britania pada 1819 untuk mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan ditandatanganinya Traktat London tahun 1824 Kesultanan Johor-Riau dibagi dua menjadi Kesultanan Johor, dan Kesultanan Riau-Lingga. Pada tahun yang sama Singapura sepenuhnya berada di bawah kendali Britania. Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911.

Pada tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa untuk menerima kehadiran Residen Britania. Dengan demikian Johor efektif menjadi koloni Mahkota Britania.

Johor menjadi salah satu negara bagian Malaysia ketika negara itu didirikan pada 1963.

Sesudah kejatuhan Kerajaan Melaka tahun 1511, maka bergantilah kepada Kerajaan Johor. Wilayah kekuasaannya menjadi semakin sempit, yaitu Johor, Pahang, Riau, Lingga dan beberapa daerah tertentu di daratan Sumatera. Kemudiannya ibukota kerajaan dipindahkan ke daerah bagian selatan yaitu Johor dan Riau.


Boleh dikatakan sesudah kejatuhan Melaka, dari berbagai sendi kehidupan mengalami kemunduran, sehinggakan berulang kali ibukota kerajaan berpindah-pindah dari Johor, Bintan, Pekantua, Bintan, Lingga Johor, Bintan dan Johor. Kehancuran kerajaan Johor begitu menyedihkan, terakhir ditandai dengan pertelingkahan antara Raja Kecil dengan Raja Sulaiman.


Syahdan, pada zaman Johor tersebutlah Sultannya yang pertama yaitu
Sultan Alaudin Ri'ayat Syah yaitu putera dari Sultan Mahmud. Kemudian digantikan oleh Sultan Mudzafar Syah, inilah sultan yang suka bermusyawarah dengan orang-orang besar dalam mengambil suatu keputusan.

Kemudian digantikan pula oleh puteranya bergelar Sultan Abdul Jalil Syah. Maka tersebutlah baginda mempunyai tiga orang puteradari gundeknya yang masing-masing bernama Raja Hassan, Raja Hussain dan Raja Mahmud. Kemudiannya Raja Hassan dirajakan di negeri Siak, Raja Hussain dirajakan di Kelantan, dan Raja Mahmud dirajakan di Kampar.


Sultan Johor berikutnya adalah Raja Mansor yakni putera dari Sultan Abdul Jalil Syah. Karena tiada menghiraukan akan kerajaan, maka ia digantikan oleh Raja Abdullah bergelar Ahmad Syah. Pada semasa inilah datang penyerangan dari negeri Aceh, maka kalahlah Johor, kemudian berundur ke Lingga, dari Lingga terus ke Tambelan, dan di negeri Kandil Bahar inilah raja Baginda mangkat.

Selanjutnya yang menjadi Sultan adalah puteranya yang bernama Sultan Abdul Jalil Syah, pada masa sultan inilah memerintahkan kepada orang besarnya Laksemana Tun Abdul Jamil (1673) untuk membuat negeri di Riau (Sungai Carang, Hulu Riau). Kemudian menggantikan kerajaan adalah Raja Ibrahim sebagi Sultan dengan Bendaharanya Tun Pekrama Habib bergelar Bendahara Sri Maharaja.

Kemudian Sultan Ibrahim Syah pun pindah ke Riau lalu mengalahkan Jambi dan Siak. Adapun yang menggantikan Ibrahim Syah adalah puteranya bernama Sultan Mahmud Syah, maka baginda itupun berpindah kembali ke Johor. Tiada lama kemudian mangkatlah Bendahara Tun Pekrama Habib, kedudukan Bendahara dilanjutkan oleh puteranya yang menjadi bendahara kerajaan.

Semasa inilah terjadi suatu peristiwa menghebohkan, yakni ketika Sultan
Mahmud terbunuh di Kota Tinggi oleh Laksemana Megat Sri Rama.
Dikarenakan Sultan Mahmud membelah perut Dang Hanum istri daripada Megat Sri Rama, yang kononnya hanya bersebab kepada mengidamkan seulas nangka.


Konon, sejak itu bersalah-salahanlah di dalam negeri Johor itu. Dalam
keadaan yang sedemikian itu salah seorang istri Sultan Mamud yang bernama Encek Pong, yang konon tengah hamil dapat diselamatkan oleh Nakhoda Malim, slah seorang hulubalang yang setia kepada Sultan Mahmud.

Setelah mangkatnya Sultan Mahmud, maka Bendahara kerajaan anak dari Bendahara Tun Pekrama Habib bergelar Bendahara Sri Maharaja menjadi Sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil IV. Pelantikan ini dilakukan, kononnya di Johor itu tiada lagi keturunan Sultan Mahmud Syah. Tersebutlah Sultan Abdul Jalil IV ini mempunyai tiga orang anak yang masing-masing bernama Raja Sulaiman, Tengku Tengah dan Tengku Kamariah.



Syahdan Nakhoda Malim yang menyelamatkan Encik Pong yang hamil ke dalam hutan, kemudian dilarikan ke hulu Sungai Johor. Alkisah, pada masa pelarian itulah lahir seorang putera yang dinamakan Raja Kecil. Kemudian dilarikan ke Jambi, ke Indragiri terus ke Pagaruyung. Disinilah beliau dididik dan diasuh, dijadikan putera angkat Raja Pagaruyung.

Di dalam naskah silsilah Sultan-sultan Siak Sri Indrapura disebutkan, bahwa sebelum Raja Kecil diangkat putera oleh Raja Pagaruyung, beliau diuji dengan beberapa ujian :
Pertama : disandarkan ke pohon jelatang, sebab menurut adat di sana pada
zaman itu, sesiapa yang bukan keturunan raja akan rusak tubuhnya oleh getah jelatang yang gatal itu.

Kedua : dikenakan mahkota Raja Pagaruyung, menurut adat di sana, kalau bukan seorang putera raja yang berhak untuk menjadi raja, maka ia akan kena tulah atau laknat mahkota itu.

Setelah Raja Kecil berhasil melalui ujian itu, beliau diangkat sebagai seorang putera angkat Raja Pagaruyung dengan gelar Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil. Sejak itu beliau diajarkan sebagaimana layaknya seorang raja. Setelah bundanya Encik Pong mangkat, maka sekitar tahun 1719 M, timbullah niat Raja Kecil untuk pergi ke Johor menuntutkan bela ayahandanya. Bahkan Raja Pagaruyung membantu niat itu dengan memberikan pengiring yang terdiri dari orang-orang besar dan Hulubalang Pagaruyung.

Di antara orang-orang besar itu, diantaranya yang terkenal adalah :
1. Syamsuddin gelar Sri Perkiraan Raja (Datuk Tanah Datar).
2. Bebas gelar Sri Bejuangsa (Datuk Lima Puluh).
3. Syawal gelar Sri Dewa Raja (Datuk Pesisir).
4. Yahya gelar Maharaja Sri Wangsa (Datuk Hamba Raja).
5. Hamzah gelar Buyung Ancah (Putera Titah Sungai Tarab).


Maka tercatatlah dalam sejarah bahwasanya Sultan Abdul Jalil berkuasa selama sembilan belas tahun dalam kesenangannya dan makmurnya negeri Johor, hingga tiada terduga datanglah Raja Kecil dengan beberapa kelengkapannya melanggar Johor. Tiada berapa lama kalahlah negeri Johor itu kepada Raja Kecil. Sementara Sultan Abdul Jalil bersama keluarga dan orang-orang besarnya melarikan diri kepada suatu kampung. Di sanalah Sultan bermusyawarah dengan orang-orang besarnya, apakah akan meneruskan peperangan ataukah menyerah saja? Akhirnya Sultan Abdul Jalil menyerah dan Raja Kecil menerima penyerahan itu dengan senang hati. Maka hendak diperbaiki barang yang telah cacat itu, dengan bermaksud hendak mendudukkan Sultan Abdul Jalil yang kalah perang itu sebagai Bendahara semula. Tetapi niat baik Raja Kecil dianggap suatu penghinaan. Dalam pada itu, terniat kepada Raja Kecil untuk menghilangkan permusuhan dengan cara menikahi Tengku Tengah anak dari Abdul Jalil itu, maka bertunanganlah mereka itu. Tetapi pada suatu ketika, di Hari Raya, Sultan Abdul Jalil datang bersama putera-puteranya, dan Tengku Kamariah pun dibawa serta. Demi memandang kepada Tengku Kamariah yang elok parasnya, maka tertariklah Raja Kecil, maka dimintanya Tengku Kamariah itu sebagai permaisurinya. Maka tiadalah
Sultan Abdul Jalil itu untuk berkata-kata. Syahdan, makamenikahlah Raja Kecil dengan Tengku Kamariah itu. Dan peristiwa ini, konon, yang menjadi pokok sengketa yang menimbulkan perang berlarut-larut sampai ke anak cucu beliau.


Tersebutlah pula beberapa hal yang membuat Sultan Abdul Jalil dan Puteranya Raja Sulaiman merasa sakit hati akan perlakuan dari Raja Kecil itu, terutama Tengku Tengah yang telah dipermalukan. Lalu bermufakatlah dua bersaudara Raja Sulaiman dengan Tengku Tengah yang hendak mendudukkan Tengku Tengah dengan Raja Bugis Upu Daeng Perani itu. Lalu dalam sesuatu jamuan diundanglah Upu-upu itu makan, kemudian Tengku Tengah berdiri di pintu selasar membuka bidai, melipok subang di telinganya sambil ia berkata, Hai! Raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkanlah keaipan beta anak beranak, adek-beradek. Maka apabila tertutup keaipan beta semua, maka redhalah beta menjadi hamba Raja Bugis. Jikalau hendak disuruh jadi penanak nasi raja sekalipun! Redhalah beta. Maka apabila Upa (Upu) Daeng Perani mendengar kata
Tengku Tengah itu, maka iapun menjawab, seraya katanya,Insya Allah
ta'ala, seboleh-bolehnya hamba menutup keaipan Tengku semua,
anak-beranak, adek-beradek.

Syahdan maka menikahlah Upu Daeng Perani dengan Tengku Tengah. Sementara itu Raja Kecil yang mengetahui pernikahan itu, telah bercuriga hatinya maka kemudian bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Konon, setelah menikah Upu Daeng Perani keluar berlayar dari negeri Johor untuk menyusun kekuatan. Sementara itu di dalam kerajaan mengharu-birulah dengan segala kerja yang bersalahan. Konon, ketika Raja Kecil sedang melakukan sembahyang, datanglah Tengku Tengah membawa pulang Tengku Kamariah.

Ketika diketahui oleh Raja Kecil, marahlah ia, dan meminta
engku Kamariah kembali tetapi tiada diperkenankan oleh Tengku Tengah.
Maka datanglah Raja Kecil melanggar kepada Abdul Jalil, tejadilah peperangan. Maka berundurlah Abdul Jalil bersama keluarga dan orang-orang besarnya yang masih setia, keluar dari Johor. Setelah Abdul Jalil keluar dari Johor, bertitahlah Raja Kecil kepada segala menterinya, seraya katanya, Ini Negeri celaka, baik kita pindah ke
Riau.Maka tiada berapa lama berpindahlah ke Riau.

Sumber :
- butang emas

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.