Pages

Saturday, February 27, 2010

Sejarah Riau : Kerajaan Bentan

Kerajaan Bentan


KOTA Kara adalah sebuah rantai sejarah Melayu yang nyaris terlupakan. Cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, di sana pernah tinggal bangsawan kerajaan Melayu.

Namun kini, yang tersisa hanyalah bukit, anak sungai, serta sejumlah batu nisan yang diam. Belakangan, sekitar dua tahun lalu, dipasang plang yang menunjukkan, itulah lokasi Kota Kara. Dari cerita sejarah, Kota Kara merupakan tempat dimana Kerajaan Bentan yang notabene kerajaan Melayu pra Islam mulai ada di Bintan.


Menurut sejarah, sebelum Kerajaan Melayu Singapura, Melaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura, di Kepulauan Riau telah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Bintan. Pusat kerajaannya berada di Pulau Besar yang kemudian terkenal dengan nama Pulau Bintan.


Konon, pulau ini pada mulanya dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah bahkan ada yang dari Kamboja dan India. Disebabkan keadaan letaknya yang baik untuk lalu lintas perdagangan di Selat Melaka, menyebabkan negeri ini cepat berkembang. Diperkirakan sekitar 1100 M tersebutlah seorang raja yang bernama Raja Asyhar-Aya yang beristrikan Wan Sri Beni, dan dari perkawinan itu diperolehlah seorang puteri yang kemudian terkenal dengan nama Puteri Bintan.


Pada waktu sang raja mangkat, Puteri Bintan belumlah dewasa, maka pemerintahan dipegang oleh Ibunda Wan Sri Beni (1150-1158 M). Beliau ini pulalah yang merupakan ratu pertama dalam kerajaan Melayu. Kemudian pada akhir masa Kedatuan Sriwijaya, sekitar tahun 1158 M tersebutlah Raja Tribuana bersama Demang Lebar Daun turun dari Bukit Siguntang, Palembang, untuk mencari kawasan baru, dan yang menjadi tujuan pertama adalah Bintan. Ternyata di Bintan telah ada seorang penguasa bernama Wan Sri Beni. Syahdan, menurut beberapa cerita, maka Tribuana yang bergelar Sang Nila Utama itu dikawinkan dengan Puteri Bintan kemudian dilantik sebagai Raja yang menggantikan kedudukan Ibunda Wan Sri Beni.


Selanjutnya Tribuana Sang Nila Utama melanjutkan perjalanannya dan sampailah ke suatu tempat yang bernama Temasik. Di Temasik ini didirikannya pula sebuah kerajaan yang diberi nama Singapura.

Orang-orang di Bintan dan sekitarnya menyebut kata Bintan biasanya huruf

I diganti dengan huruf e. Jadi menyebutnya Bentan bukan Bintan.


Tentang penamaan Bintan itu terdapatlah dua penafsiran, pertama adalah berasal dari kata "bantai-an"yakni tempat pembantaian lanun-lanun.

Penafsiran kedua adalah, kononnya ada seorang saudagar yang bernama
Bai-Intan terdampar di pulau itu. Sedangkan tentang Pulau Bintan dijelaskan dalam kitab yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa (1857) susunan Raja Ali Haji, antara lain : Bintan yaitu di dalam daerah Negeri, satu pulau yang besar daripada segala pulau-pulau di dalam daerah Riau. Adalah ia bergunung yang lekuk di tengah-tengahnya. Adalah rajanya asalnya Wan Seri Bani namanya, yaitu perempuan. Kemudian datang raja Tribuana dari Palembang, diperbuatnya anak angkat. Maka diserahkannya negeri Riau itu dengan segala takluk daerahnya kepada Raja Seri Tribuana itu.

Adalah Gunung Bintan, Tingginya diperkirakan hanya sekitar 500 meter lebih sedikit dari permukaan laut.
Namun orang-orang Bintan menyebutnya sebagai gunung, karena memang tak ada lagi puncak gundukan tanah setinggi Gunung Bintan itu di pulau Bintan.

Di kaki gunung itulah, berlangsung sebuah sejarah yang diam. Berbagai buku teks sejarah tua memang meyakini, kawasan di kaki gunung bukanlah sekedar perkampungan biasa sejak ratusan tahun silam.


Di kaki gunung itulah, berlangsung sebuah sejarah yang diam. Berbagai buku teks sejarah tua memang meyakini, kawasan di kaki gunung bukanlah sekedar perkampungan biasa sejak ratusan tahun silam.

Setidaknya sejarah pernah mencatat, kawasan di kaki gunung itu pernah berdiri sebuah kerajaan. Sejumlah buku sejarah, termasuk “Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi” yang ditulis Guru Besar UGM Prof Sulastin Sutrisno memang menguatkan bahwa di kaki gunung itu pernah berdiri sebuah kerajaan.
Diperkirakan tahun pendirian kerajaan pada sekitar 1100 masehi. Kerajaan yang mengambil ibu kota di Bukit

Batu, yang kini adalah sebuah nama kampung persis di kaki gunung, berdiri setelah kehancuran Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Rajanya bernama Azhar Aya, yang setelah wafat digantikan Iskandar Syah.

Setelah Iskandar wafat, karena tak memiliki anak lelaki, maka ia digantikan istrinya, yang bergelar Permaisuri Iskandar Syah. Belakangan, sang Ratu pun menikah dengan Sang Sapurba, pimpinan rombongan dari Sriwijaya yang datang ke Bintan.

Pernikahan itu juga diikuti oleh pernikahan anak Sang Sapurba, Nila Utama dengan putri Iskandar Syah, Wan Sri Beni. Nila Utama pun kemudian didaulat menjadi Raja Bentan.

Baru beberapa tahun memerintah, Nila Utama kemudian membuat kerajaan baru di Pulau Tumasik (Singapura). Dan ternyata, kerajaan di pulau ini jauh lebih cepat berkembang dari pada yang ada di Bintan.

Kerajaan di Bentan sendiri kemudian diserahkan Nila Utama kembali kepada ibu mertuanya, Permaisuri Iskandar Syah. Sementara di Singapura, setelah Nila Utama meninggal, ia digantikan putranya yang bergelar Paduka Sri Rana Wikrama. Beberapa raja kemudian silih berganti, hingga akhirnya tampuk pemerintahan berada di tangan Permaisyura, atau disebut pula Prameswara.

Pada sekitar Abad XIV, saat Majapahit menggempur Tumasik, Prameswara pun menyingkir ke utara, membangun kerajaan baru, Kerajaan Melaka. Di situlah benang merah tiga kerajaan besar yang memainkan peranan yang juga cukup besar di Tanah Semenanjung Melayu.

Bila kisah sejarah ini kemudian mendapat pengakuan dari khalayak umum sebagai kisah yang tinggi tingkat kebenarannya, maka orang-orang Tanah Bintan pun boleh berbangga. Sebab, dari pulau kecil inilah, lahir Singapura dan Melaka, dua daerah yang kini secara ekonomi beberapa langkah di hadapan kita.

Lantas bila menilik lagi satu buku terakhir “Kota Kara dan Situs-Situs Sejarah Bentan Lama” yang ditulis Aswandi Syahri, di kaki gunung itu juga pernah berdiri Kota Kara. “Cerita-cerita pusaka yang diwarisi masyarakat di sekitar kawasan Bukit Batu dan Sekuning menyebutkan, Kota Kara sebagai tempat raja,” kata Aswandi, yang kini bermukim di Tanjungpinang.

Namun demikian, dari sumber-sumber lain yang digali, kata Aswandi, Kota Kara adalah sebuah benteng pertahanan, yang dibangun Sultan Mahmud. Jatuhnya Kota Melaka ke tangan Portugis pada 1511 membuat Sultan Mahmud yang tengah berkuasa menyingkir ke selatan. Diperkirakan, ia dan rombongan sampai ke Bintan antara 1512-1513. Kemudian Sultan Mahmud pun membangun basis pertahanan di sekitar kaki Gunung Bintan.


Kota Kara sendiri lebih sebagai benteng, bukan istana raja. Meskipun saat itu Sultan Mahmud digelari Portugis sebagai Raja Bentan. Selain itu, ia berkesimpulan bahwa periode adanya kerajaan di Bintan pada sekitar 1100 masehi itu adalah periode berbeda dengan kemunculan Kota Kara.

Kota Kara baru muncul sekitar 400 tahun kemudian, setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis. Lantas di mana sebenarnya Kota Kara itu berada? Sekitar dua tahun lalu, Pemprov Kepri memasang plang putih bertuliskan nama daerah tersebut.

Warga setempat yang sempat ditanyai mengaku tidak tahu persis di mana letak Kota Kara. Yang mereka tahu bahwa kawasan itu adalah bagian dari Desa Bentan Bukit Bekapur. “Saya tak tahu, di mana posisinya,” kata seorang warga.


Perkiraaan posisinya melintangi Sungai Bintan. ungai Bintan sendiri hanya berjarak beberapa ratus meter dari plang itu. Pieter James Bagbie, seorang anggota militer Inggris yang menjelajahi pedalaman Pulau Bintan dan berkunjung ke Bukit Batu, termasuk Sungai Bintan pada tahun 1840-an.


Sumber :
- Butang Emas
- TribunBatam

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.